Oleh : Subliyanto*
Ketika kita berada di bangku Sekolah, mungkin kita sering
mendengar motivasi dari guru kita bahwa “belajarlah sampai kita mati”. Motivasi
tersebut merupakan penjelasan tentang urgensi belajar. Ilmu yang harus kita
pelajari sangatlah banyak, bahkan saking banyaknya umur kitapun tidak cukup
untuk mencarinya. Karenanya rugi kalau kita tidak memanfaatkan umur kita untuk
senantiasa terus belajar. Tentu tidak semuanya harus melalui jalur formal,
karena hal itu tidak semuanya bisa kita jangkau dengan kondisi kita yang
beragam.
Tradisi cinta ilmu sejatinya sudah menjadi ciri khas seorang
Muslim. Hal demikian sudah dicontohkan oleh para ulama’ terdahulu yang tekun
dalam mencari ilmu hingga melahirkan karya-karya yang menjadi pedoman hingga
sekarang. Maka tidak heran jika suatu hari Imam
Ahmad rahimahullah pernah ditanya ketika rambut beliau sudah tampak
memutih, “Sampai kapan Engkau masih bersama dengan wadah tinta?” Maksudnya,
orang tersebut heran ketika Imam Ahmad rahimahullah tetap bersama
dengan alat-alat untuk mencari ilmu seperti kertas dan wadah tinta, padahal
usia beliau tidak lagi muda. Sehingga dikatakan dalam sebuah kalimat yang
terkenal, “Bersama wadah tinta sampai ke liang kubur”.
Mungkin kisah itu sudah menjadi catatan klasik, tapi makna yang tersirat
sangatlah menarik dan mengandug makna yang sangat energik. Sehingga buah
karyanya menjadi pedoman hidup para generasi setelahnya. Dan tentu yang
demikian juga perlu ditiru jejaknya guna melahirkan generasi yang setara
walaupun tidak sama dan tidak akan pernah sama.
Dalam konteks saat ini mungkin juga kita bisa petik ilmu
“semangat” dari para pemburu ilmu. Yang teranyar misalnya potret kakek
berusia 94 tahun bernama David Bottomley yang penulis temukan di Republika.co.id edisi 06 Februari
2019. David Bottomley menjalani studi S-3 secara paruh waktu
selama tujuh tahun dan kini tercatat sebagai wisudawan tertua di Australia
yang berhasil menyandang gelar PhD. Dan Pada Rabu 06 Februari 2019, dia pun
lulus dari Universitas Curtin di Perth dalam bidang metode mengajar di ruang
kelas.
Maka kisah-kisah tersebut jangan hanya kita jadikan sebagai
kisah populer semata, akan tetapi kita jadikan sebagai kisah fakta yang
tersirat hikmah di dalamnya, terlebih oleh para generasi penerus bangsa calon
pewaris perjuangan dalam menata dan mengelola bangsa dan negara dengan segudang
problem yang ada di dalamnya.
Diam bukanlah sebuah solusi walaupun diam belum tentu sunyi.
Bergerakpun juga bukanlah solusi jika gerakan kita tidak tentu arah dan tujuan
yang berarti. Maka memadukan keduanya dengan ilmu adalah energi yang akan dapat
merubah segalanya. Hal demikian sudah Rasulullah wasiatkan sebagaimana
termaktub dalam haditsnya :
”Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib
baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akhirat,
maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka
wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Turmudzi).
Perkembangan informasi dan teknologi serta pesatnya media yang
menghiasinya tentu menjadi wadah buat para generasi untuk berkreasi,
mengekspresikan dan mengeksplorasikan gagasan-gagasan cemerlang menuju masa
depan yang gemilang. Maka hal ini menjadi peluang besar khususnya anak muda
untuk terus belajar mengais ilmu sebanyak-banyaknya sampai pada titik tiga,
yang artinya dalam ilmu matematika adalah tidak terhingga, jangan hanya
dijadikan sebagai alat untuk publikasi diri tanpa nilai yang berarti. Merasa
sulit sudah pasti, tapi lebih sulit lagi jika kita tidak pernah memulai.
Semoga catatan singkat ini dapat menambah motivasi bagi para
generasi, guna lahir para generasi yang hebat di masa yang akan datang.[]
*www.subliyanto.id
0 Komentar