Telusuri

Mendidik Dengan Hati


J.B Watson adalah psikolog yang pongah. Dengan begitu percaya diri dia berkata, “Berikan padaku selusin anak-anak sehat, tegap dan berikan dunia yang aku atur sendiri untuk memelihara mereka.” Lihat yang dia katakan selanjutnya, “…Aku jamin aku sanggup mengambil sembarang saja dan mendidiknya untuk jadi spesialis yang aku pilih—seniman, dokter, pengacara, pengemis, pencuri tanpa memerhatikan bakat, tendensi, kecenderungan, kemampuan, dan ras orangtua.”

J.B Watson bersama koleganya, Rosalie Rayner lalu membuat kelinci percobaan di Johns Hopkins University. Sang kelinci percobaan itu adalah Albert, sang anak malang putra salah seorang perawat di rumah cacat. Albert kala itu masih belia. Usianya masih sebelas bulan. Sedang lucu-lucunya. Wajahnya begitu menggemaskan. Albert hobi bermain tikus kecil putih dengan bulunya yang halus. Namun, tiba-tiba J. B Watson datang membawa petaka dengan teorinya.


Kala Albert asik bermain dengan tikus. Jari-jemari lentiknya sedang mengelus-elus bulu halus tikus. J.B Watson memukulkan lempangan baja tepat di belakang kepalanya. Keras bukan main. Albert kaget. Bocah mungil dan lucu itu jatuh tersungkur ke lantai dengan isak tangis yang pecah. Hal itu dilakukan berkali-kali beberapa pekan lamannya. Setiap kali diperlakukan seperti itu, Albert tersungkur dan menangis. Albert lalu takut tikus. Dia tidak berani mendekati tikus kesayangannya apalagi sekedar mengelus bulu putih halusnya.

Dia takut, lempengan baja yang memekakkan telinga akan berbunyi di belakang kepalanya. Akhirnya, Albert pun trauma. Bukan hanya tikus, tapi juga pada hewan lainnya, seperti kelinci, anjing, dan hewan lainnya. Albert lalu tumbuh jadi sosok anak yang sakit jiwa. Penulis buku parenting, Muhammad Faudzil Adhim dalam bukunya, “Segenggam Iman Anak Kita” mengatakan, contoh buruk tak bertanggung jawab Watson patut diambil pelajaran. Jangan sampai orang tua atau pun pendidik memperlakukan anak seperti Watson pada Albert. Atau, jangan-jangan, kita lebih kejam dari Watson?

Anak bukan benda mati. Dia tidak bisa diperlakukan kasar dan kaku. Dia memiliki hati dan otak yang dapat merasa dan berfikir. Karena itu, memperlakukan anak ada ilmunya. Tidak sembarang seperti Watson pada Albert. Salah mendidik anak bisa berakibat fatal. Didikan itu akan melekat hingga besar. Karena itu, mendidik harus dengan hati. Hati harus hadir penuh dalam mendidik. Kehadiran hati yang tulus dan ikhlas bisa menyamakan frekuensi relasi baik piskologi maupun ilmu dengan anak didik. Anak merasa nyambung, nyaman, dan aman.

Lihat bagaimana Rasulullah mendidik anak. Penuh kelembutan dan kasih sayang. Hati Rasulullah benar-benar hadir. Nabi acapkali bermain-main dengan anak-anak. Beliau pernah menyuruh Abdullah, Ubaidillah, dan yang lainnya dari putra-putra pamannya, Al Abbas ra untuk berbaris seraya berkata, “ Siapa yang terlebih dulu sampai padaku akan aku beri hadiah.” Mendengar demikian, mereka berlomba menuju Nabi kemudian duduk di pangkuannya. Lalu Rasulullah menciumi mereka dan memeluknya.

Rasulullah sangat peduli terhadap anak, lebih-lebih anak yatim-piatu. Ketika Ja’far bin Abu Tholib ra terbunuh dalam peperangan mut’ah, beliau sangat sedih. Beliau bergegas datang ke rumah Ja’far dan menjumpai istrinya, Asma bin Umais yang sedang membuat roti, memandikan anak-anak dan memakaikan baju. Rasulullah lalu berkata: “Suruh kemarilah anak-anaknya Ja’far.” Ketika meraka datang, beliau langsung menciuminya sambil meneteskan air mata.

*Kiriman Syaiful Anshor, Penulis buku “Sakinah Menuju Jannah” dan “Journey to Success” 

Posting Komentar

0 Komentar