Masih santer di telinga kita tentang pro kontra tes alQur'an untuk calon
pemimpin Indonesia 2019 mendatang. Wacana yang menarik itu nampaknya membuat
situasi politik semakin hangat.
Namun demikian tentu wacana tersebut perlu diapresiasi sebagai bagian
dari pola demokrasi mengingat mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim.
Sehingga masih dapat dikatagorikan sangat layak jika salah satu kriteria
pemimpin Indonesia adalah yang ahli dalam bidang alQur'an, guna melahirkan
pemimpin yang arif dan bijaksana.
Membaca korelasi antara sosok pemimpin dan alQur'an, terdapat kisah
menarik yang kiranya patut menjadi renungan bagi kita. Yaitu dialog antara
Nafi’ bin Abdul Harits dengan 'Umar di 'Usfan. Berikut kisahnya :
Dari ‘Amir bin Watsilah, dia menuturkan bahwa suatu ketika Nafi’ bin
Abdul Harits bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfan. Pada waktu itu ‘Umar mengangkatnya
sebagai gubernur Mekah. Maka ‘Umar pun bertanya kepadanya, “Siapakah yang kamu
angkat sebagai pemimpin bagi para penduduk lembah?”. Nafi’ menjawab, “Ibnu
Abza.” ‘Umar kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu Abza?”. Dia menjawab, “Salah
seorang bekas budak yang tinggal bersama kami.” ‘Umar bertanya, “Apakah kamu
mengangkat seorang bekas budak untuk memimpin mereka?”. Maka Nafi’ menjawab,
“Dia adalah seorang yang menghafal Kitab Allah ‘azza wa jalla dan ahli di
bidang fara’idh/waris.” ‘Umar pun berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu
‘alaihi wa sallam memang telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat
dengan Kitab ini sebagian kaum dan dengannya pula Dia akan menghinakan sebagian
kaum yang lain.”(HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817])
Dari kisah di atas dapat disimpulkan bahwa alQur'an sangatlah erat
kaitannya dengan pemimpin dan sistem kepemimpinan. Karena dengan paham dan
memahami alQur'an maka semua permasalahan hidup dan kehidupan akan mudah
terselesaikan, karena alQur'an merupakan petunjuk bagi manusia. Allah berfirman
:
"Alif laam miim. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang
telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap
mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah
mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan
bagi mereka siksa yang amat berat." (QS. alBaqarah : 1-7)
Rasulullah SAW. juga mewasiatkan, agar seorang pemimpin hafal alQur'an.
Dalam salah satu hadist, beliau berkata, “Yang lebih layak menjadi imam suatu
kaum, adalah yang paling banyak hafalannya,” pesan beliau dalam memilih imam
shalat berjamaah (HR Muslim).
Abu Hurairah RA. menuturkan, suatu ketika Rasulullah bermaksud mengutus
satu delegasi dalam jumlah banyak. Untuk menentukan pemimpin rombongan, Nabi
mengetes hafalan para kandidat. Satu per satu mereka diminta setoran hafalan (muraja’ah).
Salah satunya adalah seorang sahabat termuda.
“Surat apa yang kau hafal?” tanya Rasul pada seorang
pemuda. “Aku hafal surat ini, surat ini… dan surat Al
Baqarah,” jawabnya dengan takzim. “Benar kamu
hafal AlBaqarah?” Nabi menegas kan. “Benar,” jawab
kandidat mantap sambil menyetor hafalan. “Baik, kalau begitu kamulah
pemimpin delegasi, berangkatlah” titah Rasulullah saw kemudian (HR
At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).
Memegang amanah sebagai pemimpin bukanlah hal yang mudah. Seorang
pemimpin harus memiliki ilmu dan kemampuan yang mumpuni dalam memimpin. Selain
itu, akan lebih baik lagi jika seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan
kecerdasan intelektual saja tapi juga moral dan spiritual. Memiliki ketataan
yang luar biasa kepada Tuhan-Nya dan bekerja keras lillahi ta'ala agar
rakyatnya sejahtera, bukan hanya untuk meraih popularitas semata. Karena
pertanggung jawaban terberat bagi seorang pemimpin adalah ketika kelak di
hadapan Allah, Tuhan semesta alam.
Dari Ibnu Umar RA berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas
kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan
diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami
adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang
dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya
dan akan ditanya perihal tanggungjawabnya. Seorang pembantu rumah tangga adalah
bertugas memelihara barang milik majikannya dan akan ditanya atas pertanggung
jawabannya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya atas
pertanggungjawabannya (HR. Muslim).
Semoga dengan catatan kajian sejarah di atas dapat menjadi renungan dan
motivasi bagi kita dalam memilah dan memilih serta menentukan sosok seorang
pemimpin dalam kehidupan kita. Wallahu a'lam []
*Penulis
adalah aktivis sosial dan pendidikan. Website : www.subliyanto.id
0 Komentar