Telah dimaklumi bahwa, manusia pada mulanya berasal dari dua
orang sejoli, Nabiyullah Adam dan ibunda Hawa. Daripadanya berkembang menjadi
banyak bangsa bahkan suku. Semua manusia dinegara manapun dinisbatkan kepada
beliau berdua.
Dalam hal ini Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat
Al-Hujurat ayat 13, artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Disebutkan dalam ayat ini bahwa kedudukan manusia dihadapan
Allah adalah sama, tidak ada perbedaan. Adapun yang membedakan di antara mereka
adalah dalam urusan diin (agama), yaitu seberapa ketaatan mereka kepada Allah
dan RasulNya. Al-Hafifzh Ibnu Katsir menambahkan: “Mereka berbeda di sisi
Allah adalah karena taqwanya, bukan karena jumlahnya”. Rasulullah
Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: “Tidaklah seseorang mempunyai keutamaan
atas orang lain, kecuali karena diinnya atau amal shalih.”
Saat ini, kehidupan manusia telah berkembang dengan pesat
dalam segala aspeknya. Dari segi jumlah mencapai milyaran, dari sisi
penyebaran, ratusan bangsa bahkan ribuan suku yang masing-masing mengembangkan
diri sesuai potensi yang bisa dikem-bangkan. Darinya pula muncul beragam
bahasa, adat istiadat, budaya dan lain-lain, termasuk teknologi yang mereka
temukan.
Namun, kalau kita renungkan semua itu adalah untuk jasmani
kita (saja) agar hidup kita dalam keadaan sehat, tercukupi kebutuhan materi,
tidak saling mengganggu, aman tentram dalam mengemban persoalan kehidupan.
Inilah tuntutan “kasat mata” hidup seorang manusia.
Tak pelak dari perkembangan tersebut menimbulkan rasa
gembira, puas, bangga, bahkan lebih dari itu, yakni sombong. Sebagai contoh,
negara yang maju, kuat merasa lebih baik dan harus diikuti oleh negara yang
lain. Orang kaya merasa lebih baik dari yang miskin, orang yang mempunyai
jabatan dan kedudukan (tertentu yang lebih tinggi) merasa lebih baik dan pantas
untuk diikuti oleh yang lain dalam segala tuntutannya. Bahkan kadang-kadang,
orang yang ditakdirkan Allah mempunyai “kelebihan” dari orang yang ditakdirkan
“kekurangan” itu menyuruh dan memaksanya untuk mengerjakan hal-hal yang menyalahi
ajaran agama Allah.
Begitulah kecenderungan manusia dalam memenuhi hasrat
hidupnya, kadang (atau bahkan sering) tidak mempedulikan perintah atau larangan
Allah. Padahal dari aturan agama inilah manusia diuji oleh Allah-menjadi hamba
yang taat atau maksiat. Itulah parameter yang pada saatnya nanti akan dimintai
pertanggung-jawabannya.
Tetapi sekali lagi, karena tipisnya ikatan manusia dengan
syariat Allah, manusia banyak yang tidak menghiraukan halal atau haram, karena
memang manusia “tidak punya hak” untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu,
kecuali kembali kepada syariat agama Allah.
Karena minimnya ilmu syar’i itulah yang menyebabkan banyak
manusia terjerembab ke lembah kedurhakaan dan jatuh ke lumpur dosa. Bahkan
tidak menutup kemungkinan, para pelakunya tidak merasa berbuat dosa, atau malah
bangga dengan “amal dosa” itu, na’udzubillah.
Mari kita renungkanlah syair seorang tabi’in Abdullah Ibnul
Mubarak:
“Aku lihat
perbuatan dosa itu mematikan hati, membiasakannya akan mendatangkan kehinaan.
Sedang meninggalkan dosa itu menghidupkan hati, dan baik bagi dirimu bila
meninggalkannya”
Prestasi manakah yang akan kita ukir? Prestasi barrun, taqiyyun,
karimun (baik, taqwa, mulia) Ataukah prestasi fajirun, syaqiyun, Dzalilun (ahli
maksiat, celaka, hina) Dalam hal mana? Yaitu sejauh mana kita menyikapi ajaran
Allah dan RasulNya.
Perhatikanlah wasiat Imam Al-Hasan Al-Bashri berkata:
“Wahai manusia, ketahuilah bahwasanya
engkau adalah (kumpulan) hari-hari, setiap ada sehari yang berlalu, maka
hilanglah sebagian dari dirimu.”
Umat Islam telah diberi hidayah berupa Al-Qur’an (dan
As-Sunnah). Selanjutnya tinggal bagaimana umat Islam menerjemahkan dalam
kehidupan sehari-hari. Apakah kita termasuk zhalimun linafsih, muqtashid,
atau saabiqun bil khairat bi idznillah. Dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu
Katsir memberikan pengertiannya masing-masing sebagai berikut:
Zhalimun linafsihi: Orang yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang Allah haramkan (yang dilarang).
Muqtashid: Orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.
Sabiqun bil khairat: Orang yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)
Zhalimun linafsihi: Orang yang enggan mengerjakan kewajiban (syariat) tetapi banyak melanggar apa yang Allah haramkan (yang dilarang).
Muqtashid: Orang yang menunaikan kewajiban, meninggalkan yang diharamkan, kadang meninggalkan yang sunnah dan mengerjakan yang makruh.
Sabiqun bil khairat: Orang yang mengerjakan kewajiban dan yang sunnah, serta meninggalkan yang haram dan makruh, bahkan meninggalkan sebagian yang mubah (karena wara’nya)
Tak seorang pun di antara kita yang bercita-cita untuk
mendekam dalam penjara. Apalagi penjara Allah yang berupa siksa api Neraka yang
bahan bakarnya dari manusia dan bebatuan. Tetapi semua itu terpulang kepada
kita masing-masing. Kalau kita tidak mempedulikan syari’at Allah, tidak
mustahil kita akan mendekam di dalamnya.
Semoga Allah mengumpulkan kita dalam umatNya yang terbaik dan
terjauhkan dari ketergelinciran ke dalam jurang kemaksiatan. Wallahu A’alam []
*Penulis adalah Zainal Arifin, tim QLC ( Qiyamul Lail Center )
0 Komentar