Dalam dunia pendidikan, beberapa hari ini ramai diperbincangkan seputar pro-kontra sistem zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB). Dikutip dari tribunnews.com, bahwa sistem zonasi pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 dianggap merugikan dan tidak adil oleh para orang tua. Tak hanya itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bahkan dinilai melanggar Undang-undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (tribunnews.com, 19/06/2019).
Berbincang hal itu, kita coba kembali buka Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik
Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat. Dimana, peraturan tersebut pada bagian keempat "Sistem Zonasi" Pasal 16 berbunyi :
(1) Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada
radius zona terdekat dari Sekolah paling sedikit sebesar
90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah
keseluruhan peserta didik yang diterima.
(2) Domisili calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang
diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum
pelaksanaan PPDB.
(3) Radius zona terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan
kondisi di daerah tersebut berdasarkan:
a. ketersediaan anak usia Sekolah di daerah tersebut;
dan
b. jumlah ketersediaan daya tampung dalam rombongan
belajar pada masing-masing Sekolah.
(4) Dalam menetapkan radius zona sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), pemerintah daerah melibatkan
musyawarah/kelompok kerja kepala Sekolah.
(5) Bagi Sekolah yang berada di daerah perbatasan
provinsi/kabupaten/kota, ketentuan persentase dan
radius zona terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diterapkan melalui kesepakatan secara tertulis
antarpemerintah daerah yang saling berbatasan.
(6) Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
dapat menerima calon peserta didik melalui:
a. jalur prestasi yang berdomisili diluar radius zona
terdekat dari Sekolah paling banyak 5% (lima
persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik
yang diterima; dan
b. jalur bagi calon peserta didik yang berdomisili diluar
zona terdekat dari Sekolah dengan alasan khusus
meliputi perpindahan domisili orangtua/wali peserta didik atau terjadi bencana alam/sosial, paling
banyak 5% (lima persen) dari total jumlah
keseluruhan peserta didik yang diterima.
Dari perturan tersebut dapat kita lihat bahwa basic kebijakan tersebut berpijak pada "Zona" calon peserta didik berdasarkan pada alamat calon peserta didik. Yang artinya menurut hemat penulis merupakan bagian dari upaya pemerataan pendidikan bagi masyarakat, sekaligus menjadi jawaban pada klasterisasi pendidikan yang jamak terjadi pada saat ini, yang dalam istilah dalam buku "Paradigma Pendidikan Masa Depan" yang ditulis oleh Dr. Zamroni disebut dengan istilah "Ketimpangan Pendidikan".
Dalam mengatasi ketimpangan pendidikan ini, menurut Mark Griffin dan Margaret Matten, peneliti pendidikan berkebangsaan Australia, dalam bukunya "Equity in School : An Independent Perspective" terdapat dua aspek penting dalam mengkaji ketimpangan di dunia pendidikan. Pertama, wujud ketimpangan, yang dalam hal ini dapat terjadi ketimpangan dalam wujud input, yakni kesempatan untuk memperoleh kualitas, atau ketimpangan dalam wujud output atau hasil pendidikan, yakni berdasarkan pada kualitas lulusan peserta didik yang hal ini berupa nilai akhir ujian. Kedua, ketimpangan pada level kelompok, yang pada poin ini berdasarkan basic peserta didik. Seperti letak geografis asal peserta didik, latar belakang ekonomi, dan jenis kelamin.
Dalam wajah pendidikan di Indonesia, dalam mengatasi ketimpangan pendidikan, kedua aspek yang dikemukaan Mark Griffin dan Margaret Matten di atas, sejauh pengamatan penulis, sudah dan sedang diterapkan, termasuk poin yang menjadi tranding topic beberapa hari ini, yaitu "Sistem Zonasi PPDB". Tentu semua itu sebagai upaya yang berkesinambungan dalam memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Walaupun juga tidak dinafikan bahwa capaiannya belum maksimal. Maka disinilah perlunya pemahaman bagi para praktisi pendidikan, termasuk bagi para orang tua murid.
Bagi para orang tua murid dalam hal "Sistem Zonasi PPDB" saat ini, kalau ditinjau dari sisi parenting, hemat penulis sangat baik, karena dapat membantu pola asuh orang tua dalam memonitor kegiatan putra-putrinya. Sehingga nilai efisiensi dan efektifitasnya sangat relevan dalam perannya sebagai orang tua. Adapun aspek prestasi tentu menjadi harapan semua pihak. Maka hal tersebut merupakan tanggung jawab bersama, termasuk para pengelola pendidikan, baik pemerintah maupun para guru untuk terus melakukan manajemen dan yang terkait di dalamnya, baik terkait SDM, dalam hal ini tenaga pendidik dan kependidikan, maupun sarana dan prasarana yang dapat menunjang prestasi murid.
Pada poin ini (prestasi), seorang sosiolog bernama James Coleman dalam risetnya "Equality of Educational Opportunity" sebagaimana dikutip oleh Dr. Zamroni, menjelaskan bahwa memang menemukan adanya realitas ketimpangan output pendidikan dalam kaitannya dengan ketimpangan input pada level klompok di Amerika Serikat. Namun, hanya sekitar 10% varian ketimpangan output yang dapat dijelaskan oleh ketimpangan input. Artinya, ketersediaan fasilitas pendidikan, rasio guru-siswa, dan kualitas guru, hanya memberikan kontribusi kecil dalam menimbulkan ketimpangan output. Dengan kata lain, penyumbang terbesar pada prestasi anak adalah keluarga dalam hal ini orang tua.
Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua mempunyai peran penting dalam mendidik putra-putrinya, guna tercapainya tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, yaitu, "Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Semoga catatan ini menjadi sumbangsih pemikiran bagi para orang tua dan semua praktisi pendidikan. Wallahu a'lam []
*Penulis adalah pendidik non formal dan penggiat literasi asal Kadur Pamekasan
0 Komentar