Telusuri

Pakaian Batik dan Kebijakan Publik


Oleh : Subliyanto*

Bupati Pamekasan, Badrut Tamam, mengeluarkan surat edaran berisi himbauan kepada seluruh warga Pamekasan agar pada Hari Raya menggunakan busana batik. Surat edaran tertanggal 22 Mei 2019 itu cukup menjadi topik diskusi di sosial media WhatsApp. Dan berbagai komentar pro dan kontrapun bermunculan.

Antisipasi informasi hoaks, maka penulis mengkonfirmasi kebenaran informasi tersebut kepada salah satu sahabat yang merupakan ASN di lingkungan Pamekasan, dan ternyata informasi tersebut benar.

Surat edaran tentang busana batik di Hari Raya 'Idul Fitri itu perlu diapresiasi sebagai wujud terimakasih atas inisiasi Pamekasan Hebat demi terdorongnya perekonomian batik yang menjadi ciri khas Pamekasan. Namun demikian hal itu juga perlu kiranya memperhatikan siklus pergerakan ekonomi lainnya.

Dari kacamata agama, himbauan tersebut tidaklah salah, karena diantara sunnah pada Hari Raya 'Idul Fitri adalah menggunakan pakaian terbaik. Dalam keseharian Rasulullah SAW, pakaian yang paling sering beliau pakai adalah warna putih. Namun warna ini hanya merupakan klasifikasi berdasarkan mahabbah, atau kesukaan beliau, bukan berarti melarang dengan corak dan warna selain putih. Karenanya, redaksi dari anjuran sunnah pada Hari Raya 'Idul Fitri secara garis besar adalah "yang terbaik".

Al-Haifz Ibnu Jarir rahimahullah berkata, "Diriwayatkan dari Ibnu Abu Dunya dan Baihaqi dengan sanad shahih sampai ke Umar, bahwa beliau memakai baju yang terbaik pada dua hari raya (idul fitri dan idul adha)." (Fatawa Syekh Ibnu Jibrin, 59/44)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Disunnahkan bagi laki-laki pada hari raya untuk berhias dan memakai pakaian yang terbaik." (Majmu Fatawa Wa Rosail Ibnu Utsaimin, 13/2461)

Lalu, bagaimana dengan Rasulullah sendiri ? 

Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata : "Rasulullah SAW. menggunakan kain ganggang Yaman (Burdatan Hamra') pada Hari Raya" (Sanadnya Jayyid as-Shahihah No. 1279 dan al-Haitsamu dalam Majma'uz Zawa 'id II:201 berkata, "diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab al-Ausath dengan perawi-perawi yang tsiqah".)

Sehingga soal pakaian di Hari Raya'Idul Fitri bukan menjadi hal yang bersifat kursial, sebagaimana dikuatkan dengan deretan dalil akan hal tersebut di atas.

Dari sisi ekonomi, himbauan ini juga tidak terlalu membuahkan dampak negatif yang signifikan, pasalnya himbauan tersebut hanya bersifat ajakan guna mendongkrak perekonomian batik yang menjadi ciri khas Pamekasan. Terkecuali mungkin bagi ASN di lingkungan Pamekasan hal itu bersifat wajib namun itupun sebatas wajib dalam tatanan teknis sistem birokrasi dan manajerial. Dan hal itu sah-sah saja.

Namun yang menjadi kekhawatiran dalam hal ini adalah munculnya kecemburuan sosial diantara para pelaku ekonomi yang juga sama-sama ingin mendapatkan porsi  perhatian yang sama dari mata pemerintah. Karena ekonomi Pamekasan tidak hanya batik.

Apalagi pada momen menjelang Hari Raya 'idul Fitri, yang notabeni menjadi arus meningkatnya grafik perekonomian masyarakat, khusunya di pasar-pasar tradisional. Maka diperlukan juga porsi perhatian pada pelaku ekonomi selain batik. Sehingga dengan demikian tidak ada kesan dianaktirikan ataupun kesan ketidak adilan dari pemerintah di masyarakat.

Maka catatan penulis, setiap kebijakan memang alangkah baiknya tidak hanya memperhatikan satu sisi aspek dalam kehidupan, karena setiap segmen kehidupan, sekecil apapun hal itu, saling terkait dengan sisi yang lainnya.

Maka sebagai penutup, penulis kutipkan perkataan khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Hari raya itu bukan bagi orang yang memakai pakaian baru, akan tetapi hari raya bagi mereka yang takut terhadap hari pembalasan”. Wallahu a'lam []

*Penulis adalah warga Desa Kadur Pamekasan, aktif di dunia sosial dan pendidikan serta literasi

https://limadetik.com/artikel-pakaian-batik-dan-kebijakan-publik/

Posting Komentar

0 Komentar