Oleh: Dr. Adian Husaini
Pada tahun
1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf Wibisono, menulis
sebuah buku berjudul "Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang
Masa". Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak
memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf Wibisono ini diterbitkan.
Yusuf
Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, tokoh
ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada
1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers,
dia adalah pemimpin redaksi Mimbar Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah
dipegangnya adalah rektor Universitas Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto.
Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia tidak memiliki
rumah pribadi.
Meskipun buku
ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman penjajahan, buku ini
tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan memberikan penjelasan yang
komprehensif tentang masalah poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum
Islam, tetapi juga memuat pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami.
Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap sebagian ilmuwan dari kalangan
Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. Selain buku-buku
berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa Inggris, Perancis,
dan Jerman.
Beberapa
tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni Pringgodigdo,
menulis satu artikel tentang poligami di Koran 'Suluh Indonesia Muda' yang
memberikan kritikan keras terhadap poligami. Menurut Soewarni, poligami adalah
hal yang nista bagi wanita, dan bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa
sempurna, selama rakyatnya masih menyukai lembaga poligami.
Mr. Yusuf
Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan Islam yang
membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini merupakan
'jalan tengah' dari sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan poligami
atau sistem Barat yang menutup pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya
untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf Wibisono menulis bahwa, "Saya
rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak bisa
dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam memilih
poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah penyalahgunaan
kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul merupakan
kebahagiaan bagi masyarakat manusia, di mana dia sungguh-sungguh
diperlukan."
Salah seorang
ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf Wibisono adalah
Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku setebal 460
halaman, berjudul "La maitresse legimitime".
Anquetil
menulis dalam bukunya : "Suatu
pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan diperkembangkan,
yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong poligami, seperti yang
dinyatakan secara kritis oleh seorang pengarang dari buku Inggris :
"History and philosophy of marriege." Bahkan, mereka yang hidup di
bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau
taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat; baik mereka itu filsuf,
seperti Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti
Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti Goethe,
Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie Mendes, maupun
negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau atau Gambetta.
Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar ini ?
Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu
berdusta, baik terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan
mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka yang hanya
merupakan maitressenya.
Sebenarnya ialah, bahwasanya poligami yang semata-mata
sesuai dengan hukum alam telah dilakukan pada
setiap zaman karena hukum alam itu tetap saja, tetapi pikiran manusia dibuat
demikian rupa, dan sangat suka kepada serba berbelit-belit, sehingga bukannya
ia memilih sistem yang semata-mata menguntungkan, akan tetapi justru memilih
sistem yang penuh dengan dusta dan penipuan, yang membuat berputus asanya
berjuta-juta wanita dan yang memaksanya hidup dalam kesedihan, kekacauan, atau
dosa-dosa sebagai akibat dari hidup sengsara, terjerumus hidupnya dalam
kemunafikan hewani, dan bahwa semua drama percintaan melahirkan turunan-turunan
yang diliputi oleh perasaan iri hati yang pandir dan penuh kebencian, yang
jumlahnya setiap harinya bertambah-tambah saja."
Salah satu
keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: "Poligami akan
memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan
keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem
monogami."
Yusuf
Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang menulis:
"In a great measure polygamy is much more a theoretical than a practical
institution. Not one on twenty Moslems has even two wives. In any case it is
not the proper and legitimate practice of polygamy, but in the abuse of it that
the evil lies." (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga teoritis
daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan
lebih dari seorang. Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam
berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami).
Mr. Yusuf
Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di berbagai
negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum Muslim
tetap bermonogami. Di Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair
tahun 1869, dari 18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami,
dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di
Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 -- dalam tahun
1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih
dari dua orang istri.
Buku Mr.
Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah diberi
kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat genius yang
sangat dikagumi di dunia internasional.
Kiranya ada
baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim tersebut : "Tidak
bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena tindakan-tindakan
luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dan sebagian bahkan
sudah dilaksanakan, akan tetapi terutama sekali juga karena adanya propaganda -
baik yang terpengaruh oleh sikap anti-Islam, maupun yang tidak - yang
dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar kepada
perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada
anggapan-anggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.
Namun,
bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam suasana
yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat ini
terutama sekali merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. Dan
di lapangan ini tradisi dan sentimen Barat, yang "dus beradab" masih
selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan
nalar yang wajar (logika).
Bahkan oleh
karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, sebab
berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta
teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan
etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut oleh masyarakat Barat, dan
membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundang-undangan
perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya.
Terutama
sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir ini
terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan
"persetujuan" pihak Islam terhadap moral dan etika Barat, malahan
moral dan etika yang terang-terangan bernada "Kristen", seperti yang
lazim dianut di kalangan masyarakat
Barat. Terlalu sering pula orang berusaha menyembunyikan ajaran-ajaran Islam
yang tak cocok dengan anggapan Barat dengan jalan "Umdeutung", dengan
menggunakan tafsiran yang dicari-cari. Ya, bahkan menghukum ajaran-ajaran itu
sebagai bid'ah dan kufur. Itulah caranya mereka mencoba supaya Islam bisa
diterima kaum muda yang meskipun berasal dari keluarga Islam, tapi karena
pendidikan Barat dan simpati-simpati serta kecenderungannya yang
ke-Barat-baratan menjadi terasing dari agama Islam. Selain dari pada itu,
propaganda itu ditujukan pula kepada orang-orang yang tidak beragama Islam.
Akan tetapi
agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan
cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan "menyesuaikan" agama Islam
dengan anggapan-anggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya
bersifat prinsipil anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan
"keunggulannya" kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam - antara
lain perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami - maka hilanglah pula
tujuan tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh
TUHAN, untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan
dan kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji
dan disesuaikan dengan Islam, akan tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah
yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan
itu."
Kata-kata
Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, saat ini,
begitu banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, juga dengan
menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam memahami
Al-Quran adalah soal 'anggapan-anggapan' atau cara pandang serta metodologi
penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif Marxisme dan
gender equality yang bersemangat 'dendam' terhadap laki-laki, maka yang muncul
adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki,
dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan
menafsirkannya sesuai dengan 'anggapan' nya sendiri.
Seorang
sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman
menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si
wanita menempati tempat duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina
karena dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bagi seorang wanita yang menolak
hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap
tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan
penghinaan.
Amina Wadud
misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki saat shalat
adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang ini sangat
berbeda dengan Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan kepada
suami.
Dalam soal
poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya dalam
konsep Islam, akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda dengan
kaum feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya
sebagai partner dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya.
Dia secara
pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa menolak hukum
poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami memerlukan kemampuan
dan tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat.
Sebaliknya,
bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi juga melekat
tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan berlaku adil secara
materi, juga dituntut kemampuan menjaga seluruh keluarganya dari api neraka.
Tentu saja menjaga 4 istri lebih berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20
anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak.
Karena itu,
bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami adalah
sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. Islam
mengizinkan dan mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup
jalan itu. Islam adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak
melarang poligami sama sekali, dan tidak membebaskannya sama sekali.
Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit
wanita yang menjadi korban. Sepanjang zaman, banyak wanita yang ikhlas dan siap
menjadi istri ke-2, ke-3 atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan suatu ketika, pihak
istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah perkasa membuka
lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja,
ribuan wanita dengan ikhlas akan antri mendaftar.
Maka, bagi
seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya untuk berpoligami,
tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang banyak terjadi saat
ini, ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri.
Wallahu a'lam. (Depok, 15 Desember 2006).
0 Komentar