Sungguh Allah Maha Santun terhadap semua hamba – hambanya. Jika
hambanya bermaksiat dengan sembunyi –sembuyi dan masih tersisa rasa malu dalam
diri, maka Allah sang Maha Santun tidak akan menyebut – nyebut namanya. Meski
untuk i’tibar dan mengambil hikmah sekalipun. Maka kita tidak akan pernah
menemukan nama Zulaikha di dalam Al Qur’an pada novel yang indah Surat Yusuf
itu. Kita hanya menemukan sebutan imraatul ‘Aziz istrinya Al ‘Aziz. Karena dia
masih berikhtiar menutup semua pintu dan menyembunyikan diri dari pandangan
manusia saat terbit niatan untuk menggoda pemuda tampan di rumahnya, ya...meski
ada satu pintu yang tak pernah ditutupNya; yakni pintu yang dari sana Allah
senantiasa menatap hamba – hambaNya.
Sekali lagi Allah itu Al Haliim, Maha Santun. Manusia diajak
mengambil pelajaran dari romantika itu, namun Allah tidak menyebut nama sang
wanita. Allah menutup aib – aibnya, karena masih ada rasa malu yang tersisa
dalam dirinya. Meski malu yang terbatas pada manusia.
Tetapi sungguh berbeda perlakuan Allah kepada manusia yang terang –
terangan menentangNya. Allah pun terang – terangan menyebut namanya,
mengabadikannya. Seperti hari itu di bukit shafa ketika Rasul menyeru pada
kaumnya:
“...Wahai Bani Fihr, wahai Bani Ady, wahai semua orang Quraisy!”
“Apa pendapat kalian sekiranya kukabarkan bahwa di balik bukit ini
sepasukan berkuda bersenjata lengkap mengepung, siap menyerbu Makkah dan
melumatkannya?”
Semua orang – orang yang hadir seketika itu berebut untuk menjawab;
“Kami belum pernah mendengar ada kedustaan keluar dari lisanmu.”
“ Benar. Kami tidak pernah menyesap darimu kecuali kejujuran.”
“ Engkau adalah Al Amin.”
Kemudian beliau tersenyum sebelum melanjutkan kata – katanya;
“Sesungguhnya aku adalah pembawa peringatan dari sisi Allah...”
kalimat ini belum terselesaikan ketika tiba – tiba seorang lelaki bermata
juling berteriak sambil mengacungkan telunjuknya “Tabban laka ya Muhammad!!!
Alihaadza jama’tanaa?!!” (binasa engkau Muhammad. Apakah untuk urusan seremeh
ini kami engkau kumpulkan)
Saat itulah turun ayat Allah membalas perkataan “Tabban laka Ya
Muhammad.” Yakni “Tabbat yadaa Abi Lahaabiw wa Tabb!” Abu lahab. Ya inilah nama
yang abadi di dalam Alqur’an sebagai lambang penentangan da’wah.
Dari uraian tersebut diatas,ketika kita berbicara dalam konteks pendidikan hal ini merupakan salah satu pendidikan karakter yang Allah contohkan langsung baik melalui kitab suci umat islam maupun melalui lisan Al Amin Sang Penuh amanah kepada kita. Lalu pertanyaannya,Apakah kita sudah berkata santun bahkan berprilaku santun?
Berprilaku santun merupakan salah satu indikator mendidik dengan
karakter. Apakah kita pernah membayangkan seorang guru yang memperlakukan
siswanya seperti barang tak berjiwa?
Akhir – akhir ini banyak terjadi tawuran antar pelajar, bahkan
mahasiswa terlibat baku hantam dikampusnya sendiri. Takterhitung nyawa dan
properti menjadi korban tindak kekerasan dan anarkhi massa yang beridentitas
kaum terpelajar. Wacana diperdebatkan dan solusi direkomendasikan, namun semua
itu tidak mampu dan belum pernah bisa menghentikan tindak kekerasan dan anarki. Seperti
inikah dinamika pendidikan di tanah air kita?? Sungguh ini merupakan ironi nan
pilu dalam pendidikan.
Bagi kalangan pendidikan tentu sudah tidak asing lagi dengan
istilah kepribadian. Guru itu lentera, penyuluh kehidupan. Ia hanya bisa
menjadi pencerah kehidupan bila dari kedalaman jiwanya terpendar terang artinya
rukhiah seorang guru sangat mempengaruhi anak didiknya. Hal itu terjadi ketika
hidupnya dijangkarkan/ diazamkan pada panggilan jiwanya sebagai pendidik.
Sekolah memang tempat ideal untuk indoktrinasi Learning Value (nilai – nilai kebajikan) sekaligus Transformation of knowledge dengan
catatan sekolah bisa mengubah reorientasi pendidikan yang selama ini sangat
berorientasi pada Market oriented yang
berujung pada skill of competension ditambah
pula dengan orientasi pada skill of integrity. Karena orientasi
seperti inilah maka banyak terjadi tawuran pelajar dan mahasiswa dimana mana.
Siswa Indonesia cukup disegani di ajang olimpiade Biologi, Fisika
dan lain – lain, namun sayang pada wilayah moral dan karakter masih jauh dari
harapan.
Disnilah peran guru menjadi sangat penting, selain mengkampanyekan
pendidikan karakter, guru juga harus bisa menjadi teladan bagi peserta didik,
teman sejawat dan lingkungan sekitar. Dengan contoh kecil, dalam memanggil nama anak didik
dengan panggilan yang baik itu sudah merupakan pendidikan karakter.
Memang dibutuhkan guru yang cerdas ukhrowi dan aqli serta kreatif.
Karena nilai – nilai pendidikan karakter bukan untuk diajarkan, tetapi perlu
ditanamkan pada anak didik sehingga terbentuk semangat kerja sama, kearifan dan
kejujuran. Dengan semangat itu menghilangkan sifat egoisme. Sementara jiwa
kejujuran menjauhkan seseorang dari berbagai perbuatan yang merugikan dan
mencelakakan. Sekolah juga memiliki peran antisipasi untuk menihilkan efek
negatif yang muncul dari pembelajaran.
Maka sudah tugas kita semua untuk saling bersinergi dalam mencapai
generasi penerus yang kokoh, tangguh dan berakhlak mulia. Kunci utamanya adalah
membudayakan karakter islami sehingga bisa menumbuhkan kearifan lokal sebagai
bangsa yang mayoritas berpenduduk Islam.
Itulah yang diperbuat keimanan.
Membuka mata dan hati.
Menumbuhkan kepekaan.
Menyirai kejelitaan, keserasian dan kesempurnaan...
Iman adalah persepsi baru terhadap alam,
apresiasi baru terhadap keindahan,
dan kehidupan di muka bum,
di atas pentas ciptaan Allah,
sepanjang malam dan siang...
(Sayyid Quthb)
*Penulis adalah Dian Titi Sari ( Pendidik SDIT Hidayatullah
dan Mahasiswa Magister Studi Islam UII ) Tulisan ini dimuat di mading SDIT Hidayatullah Yogyakarta
0 Komentar