Oleh : Subliyanto*
Beberapa hari ini kita dihebohkan dengan sidang Mahkamah
Kehormatan DPR ( MKD ) terkait tindakan ketua DPR yang konon dianggap sebagai
pelanggaran kode etik.
Benar atau tidaknya hal tersebut, tentunya adalah wewenang
majlis hakim yang menilai dan memutuskan berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Namun, setidaknya terdapat beberapa hal yang penting kiranya
untuk kita renungkan bersama dari perjalanan sidang tersebut sebagai pelajaran
bagi kita.
Pertama, seorang pemimpin adalah sosok yang harus bisa menjaga
diri dari hal-hal yang dapat merusak citranya, sehingga kepercayaan orang yang
dipimpinnya terhadap amanah yang diberikan tidak luntur.
Sifat seorang pemimpin yang melekat pada diri Rasulullah
Shallahu 'alaihi wasallam hendaknya menjadi karakter juga bagi kita sebagai
ummatnya, yaitu siddiq, amanah, tabligh, dan fatonah. Karena empat karakter
tersebut merupakan karakter yang saling terkait. Sehingga tidak bisa dipisahkan
antara yang satu dengan yang lain.
Kedua, sebagai seorang muslim yang bersaudara maka hendaknya
kita bisa menjaga lisan kita untuk menjaga aib saudara-saudara kita, karena
yang demikian itu bagian dari akhlak mahmudah.
Menjaga lisan bukan berarti diam, akan tetapi jika terdapat dari
saudara-saudara kita yang melakukan kemungkaran, maka hendaknya menasehatinya
dengan baik untuk kebenaran dan kebaikan.
Dan sebaik-baiknya nasehat adalah manakala nasehat itu
disampaikan secara sembunyi-sembunyi sehingga harkat dan martabat saudara kita
terlindungi. Saling menasehati dalam kebenaran merupakan perintah Allah,
sebagaimana termaktub dalam firmanNya :
" Demi masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati
untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran" (QS.al-'Ashr : 1-3)
Ketiga, fakta dan realita yang terjadi di negara kita ini, yang
menjadi tontonan di keseharian kita merupakan gambaran belum ikhlasnya amal
perbuatan yang dilalukan. Semuanya syarat akan kepentingan, baik kepentingan
pribadi maupun kepentingan golongan tertentu.
Padahal kepentingan umum sejatinya harus menjadi skala prioritas
dalam kehidupan kita. Bukan hanya menjadi label di baju kita yang kemudian
dijadikan alat untuk kepentingan pribadi kita.
"Al maslahatul ijtimaiyah mutaqaddamatun minal maslahatil
infiradiyah"
Sehingga kita sebagai seorang pemimpin tidak sepantasnya untuk
melakukan hal-hal yang bersifat pelanggaran. Entah itu pelanggaran moril maupun
pelanggaran materiil.
Sebagai kesimpulan, siapapun kita, apapun jabatan kita,
dimanapun kita bekerja, maka hendaknya melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebaikan serta etika dan moral.
Wallahu
A'lam...[]
*Penulis adalah pendidik di Sleman Yogyakarta, twitter
@Subliyanto
0 Komentar