Telusuri

Mohammad Nuh : Penyakit Sosial dan Solusinya

Khutbah Idul Fitri 1435 H/ 2014 M, Oleh : Mohammad Nuh 
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اَللهُ أَكْبَرُ , لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ ، اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَبَعْدُ ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ فِي كُلِّ وَقْتٍ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
قَالَ تَعَالَى : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Mensyukuri Karunia Ramadhan
Pagi ini kita berkumpul tidak lain untuk menyampaikan syukur kepada Allah Swt setelah kita selesaikan sebulan penuh beribadah sekaligus menjaga dan menghormati kesucian bulan ramadhan, sebagaimana firman Alllah (QS: Al Baqoroh: 185) :
وَلِتُكْمِلُوااْلعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُاللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ ولَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangan puasamu dan Kau besarkan Allah atas petunjuk-Nya kepadamu supaya kalian bersyukur.


Semua agama besar di dunia, baik agama samawi maupun agama kebajikan, sepakat menggunakan puasa sebagai sarana teknis untuk mencapai kondisi diri yang bersifat rabbani.
Tak seorang pun tahu kapan ‘jalan lapar’ (puasa) ini dimulai. Al-Quran mengabadikan kepurbaannya dalam sebuah ayatnya, "kamaa kutiba ´alalladziina min qablikum—sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kamu." (QS Al-Baqarah [2]: 183). Al Quran tidak menyebutkannya secara persis sejak kapan, tetapi lebih menggunakan statemen terbuka.
Dalam penghayatan puasa selama satu bulan ini, terjadi proses transformasi kesadaran yang berwujud lenyapnya "iradah insaniah" menjadi "iradah rabbaniyah". Dari kehendak pribadi yang cenderung menguntungkan dan memenangkan diri sendiri menjadi sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka, kini saatnya kita bertakbir—membesarkan Allah dan mengecilkan yang selain-Nya. Dalam puasa, kita mengecilkan pengaruh hawa nafsu dan menghidupkan kebesaran Allah dalam hati kita. Saat membaca Al Quran, kita mengecilkan segala pembicaraan manusia dan membesarkan firman Allah. Tiada ibadah tanpa takbir. Seluruh ibadah kita dimaksudkan untuk mengecilkan segala sesuatu kecuali Allah yang Mahabesar.
Selama ini bisa jadi, kita sering lebih mengagungkan kekayaan, kekuasaan, kedudukan. Selama ini pula, kita juga lebih sering membesarkan ego, kepentingan, dan pikiran kita. Sekarang kita duduk bersimpuh di halaman kebesaran Allah SWT.
Jamaah sholat ‘Id rahimahkumulloh
Mensyukuri Negeri Kita
Di antara nikmat Allah yang besar ialah, telah menempatkan kita pada suatu negeri dengan kekayaan yang berlimpah. Begitu indahnya negeri ini, sehingga bangsa lain menyebut pulau-pulau di Indonesia sebagai “untaian zamrud di Khatulistiwa”. Negeri yang memiliki kekayaan yang sangat luar biasa, termasuk kekayaan budayanya. Kita hidup penuh dengan keharmonisan dalam kemajemukan.
Namun, di tengah rasa syukur itu, kita mesti mewaspadai terhadap tiga penyakit sosial, yang apabila mewabah dalam suatu bangsa mana pun dan di mana pun, bangsa tersebut akan sulit berkembang dan tidak mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain bahkan bisa hancur. Setidaknya ada tiga penyakit sosial yaitu: (1) kemiskinan; (2) ketidaktahuan; dan (3) keterbelakangan peradaban. Bila ketiga penyakit ini diidap umat Islam dan melanda negeri kita, maka kita akan sulit mewujudkan cita-cita sebagai khaira ummah ukhrijat linnas serta baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Jamaah sholat ‘Id rahimahkumulloh
Penyakit Pertama, kemiskinan. Faktanya, kemiskinan masih terus menggerogoti miliaran penduduk dunia. Diperkirakan 1 dari 5 orang pendapatannya kurang dari 1.25 $ ( sekitar Rp 15.000) per hari. Dan 1,2 miliar penduduk dunia masih dalam kemiskinan yang sangat ekstrim (UNDP, 2014). Alhamdulillah, di Indonesia jumlah penduduk miskin terus menurun dari 36,1 juta atau 16.6 % (2004) menjadi 28,28 juta atau 11,25 % (BPS 2014). Meskipun demikian, sekali lagi masih ada 28,28 juta saudara-saudara kita yang masih terjerat dalam belenggu kemiskinan. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua untuk terus membebaskan mereka keluar dari belenggu, mata rantai kemiskinan.
Alangkah indahnya, kalau setiap diri kita memiliki program untuk memberantas kemiskinan, sehingga pada saat kita ‘menghadap’ Allah SWT, ada yang kita ‘laporkan’ kepada Allah. Kalau tidak apa jawaban kita pada saat Allah bertanya: berapa banyak anak yatim dan orang-orang miskin yang telah engkau bebaskan dan hantarkan menjadi orang-orang sukses ! [ QS: Al Ma’un: 1-3]. Kalau tidak, na’udzubillah, jangan sampai kita dikategorikan sebagai pendusta agama !
Munculnya kemiskinan tersebut bukan karena tidak adanya sumberdaya. Allah telah menyediakan sumberdaya kehidupan (sumber kemakmuran). Namun sumberdaya tersebut lebih banyak dikuasai oleh sekelompok orang tertentu, rendahnya kemampuan dan lemahnya akses orang miskin terhadap sumber kemakmuran tersebut. Sebagai contoh, The Richest tahun 2014 telah melaporkan bahwa harta 85 orang terkaya setara dengan kekayaan milik setengah populasi di dunia. Dengan kata lain, 1% orang terkaya di dunia menguasai harta yang sebanding dengan milik setengah penduduk di muka bumi ini, ada ketimpangan yang sangat luar biasa.
Dalam Islam, kemiskinan adalah fenomena sosial yang telah dikenali dan diberi perhatian secara khusus. Al-Quran menyebut kata fakir sebanyak 13 kali dan kata miskin sebanyak 25 kali. Itu artinya Al Quran tidak hanya berbicara tentang kenantian (akhirat), tetapi juga tentang fenomena dan realitas kekinian (dunia). Al-Quran menghendaki setiap makhluk mempunyai hak memperoleh makan dan minum, tempat tinggal, dan bahkan hidup terhormat. Al-Quran menolak dengan keras kefakiran dan bersikap mengecam serta mewanti-wanti manusia agar tidak terjerumus ke dalamnya. “Seandainya kefakiran adalah manusia, niscaya kubunuh dia,” tukas Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Dalam salah satu doanya Nabi Muhammad saw. meminta perlindungan kepada Allah dari kefakiran dan juga kekafiran sekaligus secara bersamaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedua keadaan tersebut mempunyai dampak negatif yang hampir setara bagi kehidupan manusia, sehingga harus diupayakan untuk dihindari.
Allahumma innî a-‘ûdzu bika minal kufuri wal-faqri
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran.” (HR Imam Ahmad)
Dalam doa yang lain, Nabi juga menitik beratkan supaya dihindarkan dari ujian (fitnah) yang muncul dari keadaan fakir: “Ya Allah, sungguh aku meminta perlindungan kepada-Mu dari ujian di neraka, siksa di neraka, ujian dalam kubur, siksa dalam kubur, buruknya ujian ketika kaya dan buruknya ujian ketika fakir.” (HR Imam Muslim)
Ada kaitan yang sangat erat antara kefakiran dan kehormatan manusia, siapa pun dia. Islam tidak sekedar menginginkan agar manusia hidup dalam kecukupan, tetapi yang dikehendakinya adalah agar manusia hidup dalam keadaan terhormat (QS: Al-Isra : 70).
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا (الأسراء :٧٠)
“Dan sungguh Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Jadi, apabila kemiskinan telah menguasai seseorang, dan dia mengalami kelaparan, bumi dan langit pun bergetar, bukan hanya karena khawatir mereka kufur, tetapi karena kehormatannya sebagai manusia telah ternodai, suatu noda yang tidak pernah direstui oleh Pencipta mereka, Allah SWT.
Jamaah sholat ‘Id rahimahkumulloh
Persoalannya adalah apa yang harus kita lakukan untuk membebaskan mereka dari mata rantai kemiskinan. Pertama, memotivasi setiap muslim untuk menghargai kerja dan menumbuhkan etos kewirausahaan (enterpenuership). Rasulullah saw. mencela segala bentuk kemalasan dan penggangguran, dan apresiatif terhadap segala bentuk kreativitas cerdas yang menghasilkan nilai ekonomis. Semua itu diharapkan akan membuahkan kesejahteraan, bukan hanya kepada dirinya sendiri, tetapi juga masyarakatnya.
Karena itu, para sahabat giat mencari rezeki dan pantang mengeluh lelah. Abu Hurairah menuturkan, “Sahabat-sahabat Nabi sibuk bekerja di pasar dan banting tulang di kebun-kebun. Sementara, aku sendiri selalu kenyang tinggal bersama beliau, sehingga aku bisa mendengar apa yang tidak mereka dengar, dan aku hafal apa yang tidak mereka hafal.” (HR muslim)
Sungguh, Nabi amat bangga melihat orang yang bekerja keras. Suatu saat, Nabi datang dari Tabuk, beliau disambut Sa‘d al-Anshari dan disalami. “Kenapa tanganmu jadi kasar begini?”
“Aku bekerja dengan sekop, wahai Rasulullah, untuk menafkahi keluargaku.” Jawab Sa’ad Al-Anshari. Seraya mencium tangan Sa‘d, Nabi bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan tersentuh api neraka.” Bayangkan, betapa mulianya tangan yang kasar akibat kerja keras, sampai-sampai Rasulullah menciumnya.
Begitulah cara Nabi Muhammad saw. mengikis sikap malas dan sekaligus untuk meningkatkan etos kerja masyarakat Madinah. Nabi memberi penghargaan yang tinggi kepada para pekerja dalam berbagai bidang yang dapat dilakukan di Madinah, seperti pertanian, perdagangan dan industri tangan.
“Barangsiapa mencari harta yang halal dengan tujuan untuk menjaga kehormatan diri supaya tidak meminta-minta, atau untuk memenuhi nafkah keluarganya, atau untuk membantu tetangganya maka dia akan bertemu Allah dalam keadaan wajahnya seperti bulan di malam purnama (cerah dan ceria). Sedangkan orang yang mencari harta dengan tujuan bersaing dalam memperbanyak harta dan untuk pamer maka dia akan dimarahi Allah ketika dia bertemu dengan-Nya.” (HR Ibn Abi Syaibah dari Abi Hurairah)
Kedua, membangun infrastruktur yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor infrastructure). Islam mendorong pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi perekonomian. Nabi Muhammad SAW membagikan tanah di Madinah kepada masyarakat untuk lahan bertani, membangun perumahan, mendirikan pemandian umum di sudut kota, membangun pasar, memperluas jaringan jalan, dan memperhatikan jasa pos.
Sewaktu Nabi hijrah, di antara pasar yang terkenal sebagai pusat perdagangan di Madinah adalah Sûq Zabâlah di utara Madinah; Sûq al-Jisr di Bani Qainuqa’; Sûq al-Shafâsif di daerah Ashabah; Sûq Zaqâq ibn Hayyin; Sûq Rabadzah. Semua pasar tersebut dikuasai dan didominasi para pedagang Yahudi. Ketika datang di Madinah, Nabi berinisiatif membuat pasar sendiri dengan nama Baqî’ al-Khail. Sistem yang diterapkan di pasar tersebut berbeda dengan pasar-pasar Yahudi, di antaranya tidak ada penarikan retribusi di pasar tersebut dan dilarang praktek-praktek ribawi serta kezaliman dalam perdagangan. Dengan dibukanya pasar baru yang melindungi pedagang bermodal kecil, maka para pendatang (Muhajirin) dan kelompok miskin banyak yang ikut beraktifitas dalam bidang perdagangan tersebut.
Ketiga, meningkatkan kemampuan teknis untuk memperoleh akses dan mengelola sumber kemakmuran. Pendidikan merupakan sistem rekayasa sosial yang paling efektif dalam membentuk pola pikir, meningkatkan kemampuan teknis serta meningkatkan kualitas perilaku sosial. Melalui tiga hal inilah, mereka akan lebih mudah untuk mendapatkan akses terhadap sumber kemakmuran sekaligus mengelolanya dengan baik. Disnilah, mengapa akses ke dunia pendidikan harus terbuka secara luas dan diberikan perhatian secara khusus bagi anak-anak yang berasal dari keluarga miskin.
Cukup banyak bukti empiris, mereka yang pada awalnya berasal dari keluarga yang tidak mampu, berkat pendidikan, mereka bisa terbebas dari jeratan kemiskinan, bahkan menjadi orang yang berkecukupan. Dalam sekala bangsa dan negara juga demikian. Betapa banyak negara yang pendapatan per kapitanya dibawah 1000 $, bisa naik 10 kali lipat dalam kurun waktu 1-2 dekade.
Program Bidikmisi yang diluncurkan sejak 4 tahun terakhir, dengan membebaskan seluruh beaya kuliah dan bantuan beaya hidup bagi mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu dan memiliki kemampuan akademis dimaksudkan untuk memotong mata rantai kemiskinan di lingkungan keluarganya. Alhamdulillah, hasilnya pun sudah mulai tampak, sehingga dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang, insya Allah puluhan ribu bahkan bisa ratusan ribu keluarga miskin akan terbebas dari jeratan kemiskinan. Sekarang ini, sudah 220.000-an anak yang kuliah di berbagai perguruan tinggi negeri dengan beaya Bidikmisi. Inilah, salah satu contoh upaya secara sistematik, terstruktur dan berkelanjutan untuk memotong mata rantai kemiskinan melalui pendidikan.
Keempat, membangun solidaritas dan kepekaan sosial yang bermuara pada kesalehan sosial. Seluruh ibadah maghdah haruslah bermakna dan bermuara pada kasalehan sosial. Tidakkah, Al Quran telah mengingatkan kepada kita semua [QS: Al Ma’un:1-3]
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin
Rasulullah pun juga telah mengingatkan : “Bukanlah seorang mukmin orang yang tidur kenyang, sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar,” (HR Bukhori). Di hadapan para sahabat Nabi menegaskan: “Sesungguhnya Allah mewajibkan atas orang yang kaya untuk mengeluarkan harta mereka seukuran yang dapat memberikan keleluasaan hidup bagi orang miskin. Dan tidak mengalami kesengsaraan orang-orang miskin bila mereka lapar atau telanjang kecuali karena perbuatan orang-orang kaya juga. Ketahuilah, sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban orang-orang kaya itu dengan pengadilan yang berat dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih (HR Thabrani).
Kepada istrinya Nabi berpesan: “Wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan akrablah dengan mereka supaya Allah pun akrab denganmu pada hari kiamat” (HR al-Hakim). Dan kepada kita semua beliau berwasiat, “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin”. Oleh karena itu, mengapa kita dianjurkan untuk berdoa agar Allah menanamkan rasa cinta untuk mencintai orang-orang miskin dan memohon pertolongan Allah agar dikaruniai kekuatan untuk menolong mereka.
Dengan melaksanakn empat hal tersebut secara bersamaan dan bersama-sama, insya Allah kita semua bisa memotong mata rantai kemiskinan saudara-saudara kita, sekaligus mengangkat harkat dan martabatnya. Betapa bahagianya, pada saat Allah bertanya tentang berapa banyak orang-orang miskin dan anak yatim yang telah kita hantarkan menuju kesuksesan. Insya Allah kita sudah memiliki bukti sebagai jawabannya.
Jamaah sholat ‘Id rahimahkumulloh
Penyakit Kedua, ketidaktahuan—untuk tidak mengatakan kebodohan, sebagai lawan dari berpengetahuan (berilmu). Betapa bahayanya penyakit ini sudah tak terbantahkan. Itulah mengapa Al-Quran bertanya secara retoris: Samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? [QS: Az Zumar: 9].
Tidakkah, pada saat Allah berdialog dengan para malaikat, mengapa Allah menjadikan manusia (Nabi Adam as) sebagai khalifah di bumi, tidak lain karena ilmu (nama-nama benda) yang Allah telah ajarkan kepada Nabi Adam sebagai alasannya !
Itu artinya, ilmu sebagai persyaratan wajib agar kita mampu memerankan sebagai khalifah di bumi. Ilmu merupakan syarat kesuksesan hidup setelah iman yang memberi dasar bagi kehidupan yang benar: Allah akan meninggikan orang yang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat [QS: Al Mujadilah: 11]. Dengan ilmu itulah, kita bisa mengenali berbagai persoalan dan jawabannya. Betapa pentingnya ilmu itu, sampai-sampai menuntut ilmu menjadi wajib bagi setiap muslim-muslimat, sepanjang hayat (minal mahdi ilal lahd) dan tidak mengenal batas teritori (uthlubul ‘ilma walau bisshin). Itulah sebagian cuplikan dari hadis Nabi tentang pentingnya ilmu dan pada akhirnya berkembanglah prinsip pendidikan untuk semua (Education for All) dan belajar sepanjang hayat (Long Life Learning) yang dikenalkan oleh UNESCO.
Rasulullah saw telah memberikan contoh yang sangat menarik dan inspiratif tentang pentingnya pendidikan. Pada saat diberi kemenangan dalam Perang Badar, perang pertama yang dilakukan Rasulullah, umat Islam memiliki beberapa tawanan perang. Rasulullah memberi penawaran kepada mereka: kalau mau mengajar, mereka akan dibebaskan. Apakah mereka mau mengajar agama? Tentu bukan. Karena mereka masih kafir. Apa yang akan diajarkan oleh para tawanan ? Tidak lain adalah tentang baca dan tulis!, yang kelak menjadi baca, tulis dan berhitung (Calistung).
Coba kita renungkan, (i) betapa tingginya apresiasi yang diberikan
Rasulullah kepada para tawanan yang memiliki kemampuan untuk mengajar membaca dan menulis. Yaitu, pembebasan sebagai tawanan perang; (ii) betapa pentingnya kemampuan membaca dan menulis bagi umat Islam, sampai-sampai Rasulullah saw. memberikan kompensasi pembebasan sebagai tawanan, bagi mereka yang mampu membebaskan umat Islam dari ketidakmampuan membaca dan menulis (buta aksara).
Dari dua perenungan tersebut, dengan logika sederhana, dapat kita simpulkan bahwa buta aksara itu sama dengan keterkungkungan, setara dengan menjadi tawanan perang. Calistung adalah gerbangnya ilmu, tanpa memasuki gerbang ilmu, kita tidak akan bisa masuk dalam dunia ilmu pengetahuan. Calistung saja, tentu tidaklah cukup.
Kalau kita pelajari secara mendalam, perkembangan sejarah peradaban Islam dan peradaban bangsa-bangsa lain, satu kesimpulan yang tidak terbantahkan adalah puncak kejayaan peradaban suatu kaum pasti ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh kaum tersebut. Inilah yang menjadi tesis besar kita, kalau kita ingin bangsa Indonesia ini maju, maka penguasaan Ilmu Pengetahauan dan Teknologi, termasuk didalamnya ilmu sosial dan humaniora menjadi syarat mutlak.
Bukanlah Rasulullah pernah berpesan:
اُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ، فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ (أخرجه ابن عبد البر)
Carilah ilmu hingga ke Negeri Cina, sesungguhnya mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan para malaikat akan menaungi pencari ilmu dengan sayapnya karena meridhai pencariannya.
Tentu saja mencarilah ilmu ke negeri Cina di antaranya adalah belajar tentang keterampilan dan teknologi, karena pada waktu itu di Cina sudah berkembang pesat industri kertas, mesiu, dan kain sutra.
Jamaah sholat ‘Id rahimahkumulloh
Penyakit ketiga: Keterbelakangan peradaban.
Waktu Nabi hijrah, Yastrib (Madinah) didera kemiskinan. Padahal, wilayahnya subur, daerah agrikultur yang kaya oasis. Masalahnya, adalah masyarakat yang terdiri dari sebelas klan atau suku selalu konflik tidak kunjung reda. Tidak ada pemerintahan yang menyatukan mereka. Masing-masing suku mempunyai aturan sendiri yang diterapkan untuk anggotanya. Belum lagi monopoli kaum Yahudi atas pertanian, perkebunan, dan perdagangan yang mencengkeram. Keterbelakangan peradaban itu antara lain ditandai rendahnya martabat dan nyawa manusia, sehingga seringkali saling bunuh membunuh. Itulah budaya dan peradaban primitif.
Kanjeng Nabi datang membawa harapan baru: memulihkan keamanan, menegakkan keadilan, mengembangkan persamaan dan toleransi. Bahkan, sejak itu Nabi mengganti nama kota Yatsrib yang berarti tanah gersang berdebu menjadi al-Madinah al-Munawwarah yang berarti kota bercahaya atau peradaban yang mencerahkan.
Menarik sekali, Islam menggambarkan dirinya sebagai dîn yang mencakup di dalamnya gagasan tentang agama dan peradaban. Dari segi bahasa, kata dîn memiliki akar kata dengan madinah yang berarti “kota” dan kata madani yang berarti “peradaban”. Dalam bahasa Arab, kata madinah memang tidak hanya berarti kota (urbanized), tetapi juga peradaban (civilized). Oleh karena itu, orang yang berperlilaku tidak sopan biasanya diejek dengan sebutan “kampungan”; dalam bahasa Inggris disebut uncivilized (tak beradab) sebagai lawan dari civilized (kekotaan—keadaban).
Apa ciri khas peradaban Madinah? Mewujudkan tatanan kehidupan yang didasarkan pada pengakuan atas kesederajatan manusia di hadapan hukum, penghargaan atas prestasi, persaudaraan, penegakan keadilan, pengakuan atas pikiran dan kehendak orang lain, dialog secara santun (musyawarah) serta kerja sama saling mendukung untuk sebuah perwujudan kehendak-kehendak bersama berdasarkan cita kemanusiaan universal (ta‘awun). Inilah pilar-pilar kehidupan bersama yang dirindukan setiap orang di mana pun dan kapan pun, tanpa harus mempertimbangkan asal usul tempat kelahiran, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, keturunan, keyakinan agama, dan sebagainya. Dan itulah perdaban modern dan peradaban yang unggul, selalu menempatkan manusia dalam posisi yang mulia.
Kalau diperas lagi, intisari peradaban Islam adalah ilmu dan akhlak. Segala aktivitas penduduk Madinah—mulai dari hubungan keluarga, kegiatan ekonomi hingga politik—sebisa mungkin dilandasi oleh ilmu dan akhlak. Keduanya menjadi misi utama kerasulan Nabi Muhammad saw. Beliau bersabda: “Aku diutus semata sebagai penyampai ilmu.” Di hadis lain, “Aku diutus semata untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak”.
Umat Islam pada Abad Pertengahan juga mencapai puncak kejayaan peradabannya karena penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Umat Islam menjadi rahmat dunia dengan ilmu. Khazanah ilmu pengetahuan Yunani, Persia, India, Mesir dan sebagainya dihidupkan. Dari India Muslim menemukan angka nol. Asas bagi matematik dan ilmu komputer masa kini. Di Persia Ibn Syatir mengembangkan astronomi yang buku-bukunya menginspirasi Copernicus menemukan teori heliosentrisme. Di Baghdad Ibn Haitsam menemukan teori optik, tanpa teori ini kamera tidak akan pernah wujud.
Namun, prestasi yang gemilang itu tak mungkin tercapai tanpa dilandasi etika-akhlak mulia—nilai-nilai keadaban. Tanpa dilandasi etika, ketinggian ilmu dan kecanggihan teknologi kerap meletupkan krisis kemanusiaan: Ada bom-bom membunuh jutaan orang; ada rekayasa kriminal tingkat tinggi; ada krisis parah lingkungan; korupsi merajalela, dan sebagainya. Jadi, dengan penguasaan ilmu dan pengembangan akhlak mulia kita akan terbebaskan dari penyakit sosial ini. Disinilah letak pentingnya pendidikan yang bermuara pada pentingnya membangun pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) dan sikap (attitude) secara utuh sebagaimana dalam kurikulum 2013.
Jamaah sholat ‘Id rahimahkumulloh
Dengan semangat nilai-nilai ramadhan: mari kita tumbuhkan kesadaran kolektif betapa bahayanya tiga penyakit sosial itu. Sungguh benar sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: "Kemiskinan, kebodohan, dan penyakit merupakan musuh Islam. Ketiganya dapat menggoyahkan sendi kehidupan, menghancurkan ketenteraman, menghalangi ukhuwah, serta meruntuhkan kemuliaan dan kejayaan bangsa."
Hendaknya setiap diri atau bersama-sama melakukan gerakan untuk memberantas ketiga penyakit sosial tersebut. Paling tidak setiap diri dan setiap keluarga mempunyai program real khususnya pemberantasan dan pengentasan kemiskinan.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam memberantas ketiga penyakit sosial tersebut, untuk itu apa yang kita lakukan dengan memberikan layanan pendidikan terbaik mulai pendidikan anak usia dini sampai dengan pendidikan tinggi bagi seluruh lapisan masyarakat, kalau itu kita niatkan sebagai mengikuti (itba’) Rasulullah, maka hal itu akan menjadi bagian dari ibadah.
Bagi para pengambil kebijakan, pemberian perhatian secara khusus bagi saudara-saudara kita yang masih miskin (pro-poor) mestilah lebih ditingkatkan.
Insya Allah, dengan terbebaskannya kita dari ketiga macam penyakit sosial tersebut akan menghantarkan kejayaan bangsa Indonesia dan menjadi pembukti bahwa: umat Islam akan hidup lebih sejahtera, terdidik, serta berperadaban unggul—peradaban yang ya‘lû walâ yu‘lâ ’alaih. Hanya dengan demikian, insya-Allah Islam sebagai rahmatan lil alamin akan menjadi kenyataan.
Semoga Allah menerima seluruh amal ibadah kita, dan bisa menikmati ramadhan yang akan datang.
الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر ، الله أكبر ولله الحمد
فيا أيها المسلمون، أصيكم وإياي بتقوى الله وطاعته في كل وقت لعلكم تفلحون. قال تعالى : { يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل على محمد في الأولين وصل على محمد في الآخرين. اللهم اغفر لنا ذنوبنا وكفر عنا سيئات وتوفنا مع الأبرار . اللهم إنا نسألك من الخير كله عاجله وآجله ما علمنا منه ومالم نعلم ونعوذبك من الشر كله عاجله وآجله ما علمنا منه وما لم نعلم. اللهم اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم. اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات إنك غفور رحيم.
عِبَادَ اللهِ إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، فَاذْكُرُوا اللهَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ …
الله أكبر ، الله أكبر ، الله أكبر ، لا إله إلا الله والله أكبر ، الله أكبر ولله الحمد. تقبل الله منا ومنكم وكل عام وأنتم بخير
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
(Khutbah disampaikan di Masjid Raya Bintaro Jaya, Jakarta)

Posting Komentar

0 Komentar