a. Adab Dalam Tilawah
Membaca
Al Quran adalah bagian dari ibadah yang sangat dicintai oleh Allah dan
Rasulnya. Layak tentunya sebagai orang yang akan melaksanakan ibadah untuk
sebaik mungkin bersikap taa’dduban (bertata krama). Sangat dianjurkan
bagi setiap orang yang membaca Al Quran untuk memperhatikan hal‐hal berikut ini:
1. Hendaknya membaca Al Quran dalam
keadaan berwudlu karena ia termasuk dzikir yang paling utama, meskipun boleh
membacanya bagi orang yang berhadast.
2. Membacanya hanya di tempat yang bersih dan suci, untuk menjaga
keagungan Al Quran.
3. Membaca dengan khusyu’, tenang dan bersahaja.
4. Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai membaca, tidak
menyisakan makanan ataupun minuman dalam mulut.
5.
Membaca Taáwwudz
(A’udzu billahi minasysyaithanirrajiim) pada permulaannya,
berdasarkan firman Allah SWT:
فَإِذَا قَرَأْتَ
الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
"Dan jika engkau membaca Al Quran maka berlindunglah kepada Allah
dari syaithan yang terkutuk". (Q.S.
An Nahl: 98).
6. Membaca Basmalah (Bismillahirrahmanirrahim) pada permulaan
setiap surat, kecuali surat Al Baraáh (At Taubah).
7. Membacanya secara Tartil, yaitu dengan pelan dan terang serta
membaguskan makhrajul huruf dan tajwidnya. Allah SWT berfirman:
وَرَتِّلِ
الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا
"Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil.” (Q.S. Al Muzammil: 4).
8. Memikirkan dan mentadabburi (merenungi) ayat‐ayat yang dibacanya.
9. Meresapi makna dan maksud ayat‐ayat Al Quran yang
berhubungan dengan janji serta ancaman.
10. Membaguskan suara dengan sentuhan nada. Rasulullah SAW bersabda:
“Hiasilah olehmu Al Quran
itu dengan suaramu.” (H.R. Ibnu Hibban).
11. Mengeraskan bacaan jika dianggap lebih baik dan tidak menimbulkan
perasaan riya’ (pamer).
b. Keutamaan Tilawah
Membaca Al Quran adalah ibadah sunnah yang sangat dianjurkan dan memiliki banyak
keutamaan. Membacanya dengan penuh hudhur (konsentrasi diri), ditambah dengan
merenungi (tadabbur) ayat-ayatnya adalah merupakan ibadah terbaik yang sangat
dianjurkan dalam Islam. Sebagaimana yang digambarkan dalam Hadits Nabi:
1. Dari Ibnu Mas'ud, Rasulullah SAW bersabda:
Barang siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Quran) maka
baginya satu kebaikan, dan setiap satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh
kali lipatnya. (H.R Tirmidzi)
2. Dari Abu Umamah, Rasulullah SAW bersabda:
Bacalah Al Quran, karena ia akan datang pada hari kiamat memberi
syafaat (pertolongan) bagi setiap pembacanya. (H.R
Muslim)
B.
Tentang Ulumul Quran
Secara singkat Uluumul Qur’an adalah ilmu yang
membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al Quran. Baik berhubungan dari
segi Asbaabun Nuzuul (sebab-sebab turunnya Al Quran), pengumpulan,
penertiban ayat, atau pengetahuan tentang surat-surat Makkiyyah dan Madaniyyah,
Nasikh Wal Mansukh, Muhkam Wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang
berhubungan dengan Al Quran itu sendiri.
Terkadang
ilmu ini juga dinamakan dengan Ushuulut Tafsir (Dasar-dasar tafsir)
karena yang dibahas selalu berkaitan dengan beberapa masalah yang harus
diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Al Quran.
a.
Pembahasan
Ulumul Qur'an.
- Sejarah Dan Perkembangan Ulumul Qur'an.
Meliputi
sejarah rintisan Ulumul Qur’an di masa Rasulullah SAW, Sahabat, para Tabi'in, dan
yang kemudian dilanjutkan oleh para Ulama di bidang Ulumul Quran di setiap
zaman.
- Pengetahuan Tentang Al Quran .
Meliputi makna
Al Quran, Karakteristik Al Quran, Nama-nama Al Quran, Wahyu, Turunnya Al Quran,
Ayat Makkah dan Madinah serta Asbabun Nuzul.
b.
Para Perintis Ulumul Quran
Kita tidak bisa melupakan akan peran besar yang telah
dilakukan oleh para sahabat Nabi dalam upaya menjaga keutuhan Al Quran.
Walaupun kita tahu betapa terbatasnya sarana dan alat tulis yang mereka miliki
saat itu. Diantara mereka yang sangat berjasa dalam upaya ini adalah:
1. Khalifah
Abu Bakar Ash Shiddiq, dengan kebijakan pengumpulan dan penulisan Al Quran yang
pertama atas usulan dari sahabat Umar Bin Khattab yang kemudian disanggupi oleh
sahabat Zaid Bin Tsabit.
2. Khalifah Utsman Bin Affan, dengan kebijakan beliau untuk
menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf. Mushaf
tersebut kemudian dikenal dengan sebutan mushaf Al Imam. Salinan-salinan mushaf itu kemudian dikirimkan ke beberapa propinsi dan wilayah
sekitar daerah pemerintahannya. Pada saat itulah kemudian dikenal istilah Rosmul
Utsmani (Tulisan Utsman) yang dinisbatkan kepada beliau, dan dianggap sebagai awal mula
Ilmu Rasmil Qur'an (Ilmu penulisan Al Quran).
3. Khalifah
Ali Bin Abi Thalib, dengan kebijakan perintahnya kepada Abu Aswad Ad Du'ali dengan meletakkan
kaidah-kaidah Nahwu (Tata bahasa), cara pengucapan yang tepat dan
kemudian memberikan ketentuan tanda harakat pada Al Quran. Dari beliaulah
kemudian ditengarai
sebagai permulaan dalam Ilmu
I'rabul
Qur'an (ilmu tanda baca Al Quran).
c.
Para Mufassir Dari Kalangan Sahabat
Sedangkan diantara
sekian dari para
pakar tafsir terkemuka dari kalangan para sahabat antara lain:
1. Empat orang Khalifah (Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab,
Utsman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib)
2. Ibnu Mas’ud.
3. Ibnu Abbas.
4. Ubay Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Musa Al Asy'ari
7. Abdullah
Bin Zubair.
Pada
mulanya ilmu Tafsir
dinuqil
(dipindahkan) melalui penerimaan secara syafahi (mulut ke
mulut).
Dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian dari hadits, untuk
kemudian
ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran yang
disebut dengan
Tafsir Bil Ma'tsur
(Tafsir berdasarkan riwayat), lalu diikuti oleh Tafsir Bir
Ra'yi (Tafsir berdasarkan penalaran).
Langkah
mereka tersebut kemudian diikuti oleh para sahabat Tabi’in dan Tabi’ut tabi’in,
hingga diikuti oleh para Ulama yang kemudian menyusun tafsir Al Quran dengan
lebih sempurna berdasarkan susunan ayat-ayatnya. Dari sekian para Ahli tafsir yang melakukan
methode tersebut, adalah seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir At Thabari (wafat 310
H). Masih banyak lagi tafsir-tafsir Al Quran lainnya dan telah dikenal dalam
khazanah keilmuan Al Quran hingga saat ini.
C.
Nama-Nama Al Quran
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Allah SWT menamakan
kitab suci yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa nama dan
sebutan yang kesemuanya telah disinggung dalam ayat-ayat Al Qur’an. Diantara
nama-nama itu adalah:
1. Al Quran (Bacaan).
إِنَّ هَذَا
الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya Al Quran ini memberi petunjuk kepada yang lebih lurus.” (Al Israa: 9).
2. Al Kitab (Tulisan).
لَقَدْ أَنْزَلْنَا
إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di
dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu”. (Al Anbiyaa: 10).
3. Al Furqan (Pembeda).
تَبَارَكَ الَّذِي
نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Quran) kepada
hamba Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.”
(Al Furqan: 1)
4. Adz Dzikr (Pengingat).
إِنَّا نَحْنُ
نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Adz Dzikr (Al Quran), dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr: 9).
5. At Tanzil (Yang Turun).
وَإِنَّهُ
لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar
diturunkan oleh Tuhan semesta alam. (As-Syuaraa:192 ).
Itulah beberapa nama yang telah disebutkan
penamaannya pada Al Qur’an. Dalam hal ini Al Qur’an dinamakan Al Qur’an, karena ia dibaca
dengan lisan. Begitupula mengapa ia disebut juga dengan Al Kitab, karena ia ditulis
keberadaannya. Kedua kata ini menunjukkan makna yang sesuai
dengan penamaan keduanya yang memberikan isyarat bahwa selayaknya Al Qur’an
selalu kita pelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan.
D.
Dahsyatnya Al Quran
Selain nama-nama Al Quran yang telah disebutkan diatas, Allah SWT telah melukiskan beragam keistimewaan Al
Quran dengan beberapa sifat, diantaranya:
1.
Nur (Cahaya)
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا
“Dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang.” (An
Nisaa: 174).
2. Huda (Petunjuk), Syifa` (Obat), Rahmah (Rahmat),
dan Mauidzah (Nasehat).
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا
فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus: 57 ).
3. Mubin (Yang menerangkan)
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ
اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang
menerangkan. (Al Maidah:15).
Selain
sifat-sifat yang telah disebutkan dalam banyak ayatnya, beberapa sifat dan
keutamaan Al Quran yang lain adalah seperti: Mubarak (Yang diberkahi), Busyra
(Kabar gembira), `Aziz (Yang mulia), Majid (Yang dihormati), Basyir
(Pembawa kabar gembira).
E.
Al Quran Dan Hadits Qudsi
Para Ulama menyebutkan definisi
Al Quran
dengan:
القرآن:
هو كلام الله المنزل على محمد عليه السلام المتعبد بتلاوته
“Al Quran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW, yang dengan
membacanya adalah
merupakan suatu ibadah.”
Pada zaman
Nabi dan abad pertama serta abad kedua Hijriah, Al Quran masih ditulis
dengan khath (tulisan) tangan
berbentuk tegak lurus model Kufah (Kufi).
Karena dirasakan
terdapat berbagai kesalahan pada kebanyakan khath
ini, maka para sahabat dan yang lainnya lebih berpedoman
pada hafalan serta periwayatan dari para Huffadz (para penghafal). Sehingga kemudian hanya para penghapal Al Quran dan perawi sajalah yang mengetahui secara detil bacaan Al Quran yang benar. Oleh karena itu, bukan merupakan sesuatu yang
mudah untuk membuka dan membaca mushaf dengan benar ketika itu.
Atas instruksi dari sahabat Ali
Bin Abi Thalib, maka Abu Al Aswad Ad Duwali (ada
yang membaca Ad Da’uli) membuat dasar-dasar ilmu bahasa Arab. Begitu pula pada masa sesudah
itu pula beliau membuat
titik-titik pada abjad Arab dengan perintah seorang Khalifah pada masa pemerintahan Bani Umayyah, Sultan Abdul Malik Bin Marwan.
Dengan hal itulah maka kekeliruan dalam penulisan semakin berkurang, tetapi belum semuanya bisa dihilangkan. Kemudian usaha tersebut kembali
disempurnakan oleh Khalil Bin Ahmad Al Farahidi (penemu
Ilmul 'Arudh), dengan membuat
bentuk-bentuk cara pengucapan huruf-huruf Arab semisal madd, tasydid, fathah, kasrah, dhammah, sukun, tanwin, harakat, tanda Isymam dan lainnya. Dengan jasa dan upayanya itulah umat Islam semakin terbantu untuk
lebih mudah dalam menulis dan membaca Al Quran hingga detik ini.
Pada awalnya sebelum Ahmad Al Farahidi membuat tanda-tanda itu, semua harakat ditandai hanya dengan
titik-titik. Titik di
depan huruf sebagai ganti dari fathah, titik di bawah huruf adalah ganti dari kasrah, sedangkan sebagai ganti dari dhammah, maka dipasanglah titik juga
di atas huruf. Cara ini
justeru menambah kebingungan bahkan kekeliruan bagi yang tidak memahami
perbedaan detilnya.
1. Pengertian Wahyu
Definisi Al Quran telah dikemukakan
pada halaman terdahulu. Dan untuk mengetahui perbedaan antara pengertian Al Quran, Hadits Qudsi serta Hadits Nabawi, disini akan kita
jelaskan perbedaan pengertian
tersebut:
a. Hadits Nabawi
Hadits (baru)
dalam arti secara bahasa memiliki antonim kata Qadim (lama). Sedang
menurut istilah, pengertian Hadits adalah apa saja yang keberadaannya disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, sifat, ataupun persetujuan dari beliau. Misalnya:
1. Yang berupa perkataan, seperti ucapan Nabi tentang masalah niat:
“Sesungguhnya
sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada
niatnya….”.
2. Yang berupa perbuatan, seperti ajaran beliau kepada para sahabat
mengenai bagaimana tata cara mengerjakan shalat, kemudian Nabi bersabda:
“Shalatlah
kalian seperti kalian melihat aku melakukan shalat”.
Atau juga
mengenai bagaimana beliau melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi bersabda:
“Ambilah
dariku manasik (ibadah) hajimu”.
3. Sedangkan yang berupa persetujuan adalah seperti saat beliau
menyetujui suatu perkara yang dilakukan oleh salah seorang sahabat. Baik hal
tersebut berupa perkataan ataupun perbuatan, dilakukan di hadapan Nabi atau
tidak, namun beritanya sampai kepada beliau. Misalnya mengenai makanan dari
daging Biawak (sebangsa kadal besar gurun pasir) yang pernah dihidangkan kepada beliau dan
Nabi pun menyetujuinya.
4. Sedangkan yang berupa sifat, misalnya riwayat dari para sahabat bahwa
Nabi Muhammad selalu bermuka cerah,
senyumnya selalu mengembang dan menenteramkan, berperangai halus dan lembut.
Beliau juga selalu anggun dandanannya, wangi dan bersih pakaiannya walaupun
sederhana, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak lantang
kecuali dalam keadaan tertentu, jauh dari pembicaraan kotor, mencela dan sifat
tidak terpuji lainnya.
b. Hadits Qudsi.
Lafadzh qudsi
disandarkan pada kata quds yang menujukkan rasa hormat dan bermakna “suci”.
Kata taqdis bermakna menyucikan Allah. Taqdis memiliki sinonim
dengan kata tathhiir, sehingga kata taqaddasa memiliki
padanan kata dengan tathahhara (suci, bersih). Allah berfirman dengan
kata-kata malaikat Nya:
“…padahal
kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan diri kami karena
Engkau.” (Al Baqarah: 30).
Secara
istilah, Hadits Qudsi adalah hadits yang oleh Nabi SAW disandarkan
keberadaannya kepada Allah SWT. Nabi meriwayatkan bahwa apa yang beliau
sabdakan itu adalah kalam Allah. Dalam hal ini Rasul menjadi perawi kalam Allah
melalui pelafadzan dan ungkapan Nabi sendiri.
c. Periwayatan Hadits Qudsi:
Jika seseorang telah meriwayatkan hadits Qudsi, maka pastilah ia meriwayatkannya
dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah. Biasanya redaksi haditsnya
seperti:
“Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkannya dari
Tuhannya”, atau ia mengatakan: ….....
Rasulullah SAW mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman:
.........
Contoh: “Dari Abu Hurairah Ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: .......Allah
Ta`ala berfriman:...........
“Aku menurut sangkaan hambaKu terhadapKu. Aku bersamanya bila ia
menyebutKu. Bila mereka menyebutKU dalam dirinya, maka Akupun menyebutnya dalam
diriKu. Dan bila ia menyebut KU dikalangan orang banyak, maka Akupun
menyebutnya dihadapan orang banyak lebih dari itu…”
d. Perbedaan Al Quran Dan Hadits Qudsi
Ada beberapa perbedaan antara Al
Quran dengan hadits
Qudsi, diantaranya adalah:
1. Al Quran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat, bersifat
tantangan dan pelemahan (I'jaz) bagi setiap yang ingkar padanya. Bahkan
ia menantang siapapun yang bisa membuat yang serupa dengannya dengan jelas.
Sedangkan kehadiran Hadits Qudsi tidak
untuk menantang argumentasi orang-orang kafir, dan tidak pula untuk mukjizat.
2. Al Quran hanya dinisbatkan (disandarkan) kepada Allah, sehingga
dikatakan: “Allah Ta`ala telah berfirman”. Sedangkan Hadits Qudsi
terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah, walapun nisbah Hadits Qudsi kepada Allah tapi
merupakan nisbah yang diperantarakan.
3. Seluruh isi Al Quran dinukil secara mutawatir (bersambung),
sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedangkan Hadits Qudsi kebanyakan adalah khabar
ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan (dzanny). Ada
kalanya Hadits Qudsi itu shahih, terkadang hasan (baik) dan terkadang
pula dla`if (lemah).
4. Al Quran bersumber dari Allah baik lafadz maupun maknanya, sedangkan
Hadits Qudsi hanya maknanya saja dari Allah tetapi redaksi lafadz dari
Rasulullah SAW. Hadis Qudsi adalah wahyu
dalam makna, tetapi bukan dalam lafadznya.
5. Membaca Al Quran merupakan ibadah yang berpahala, karena itu ia dibaca
di dalam shalat. Sedangkan Hadits Qudsi tidak dipperintahkan membacanya dalam
shalat. Allah memberikan pahala dalam membaca hadits Qudsi secara umum. Maka
membaca Hadits Qudsi tidak bisa disamakan pahalanya seperti yang disebutkan
dalam Hadits mengenai membaca Al Quran yang pada setiap huruf saja bernilai
pahala dan kebaikan.
F.
Karakteristik Al Quran
a. Al Quran Selalu Terpelihara
Al Quran
merupakan kitab suci yang terpelihara keasliannya (otentik). Allah SWT
sendiri yang telah menjamin akan pemeliharaannya, serta tidak membebankan hal
itu pada seorangpun. Hal ini tidak seperti yang dilakukan pada kitab-kitab suci
sebelumnya, yang hanya dipelihara oleh umat yang menerimanya. Sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah SWT:
بِمَا
اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ
“….Disebabkan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah.” (Al Maidah: 44).
Adapun
makna tentang “dipelihara”, adalah bahwa Allah SWT memeliharanya dari pemalsuan
dan perubahaan terhadap teks-teksnya. Tidak seperti yang terjadi pada Taurat,
Injil, dan kitab-kitab terdahulu sebelumnya.
b. Mukjizat Abadi
Diantara
karakteristik Al Quran adalah kemukjizatannya yang selalu abadi adanya. Ia
adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
c. Al Quran Menjadi Penjelas
Al Quran
adalah kitab yang memberi penjelasan dan mudah untuk dipahami. Allah SWT
menurunkan Al Quran agar makna-maknanya dapat ditangkap, hukum-hukumnya dapat
dimengerti, rahasia-rahasianya dapat dipahami, serta ayat-ayatnya dapat
ditadabburi. Oleh karena itu Allah SWT menurunkan Al Quran dengan jelas dan
memberi penjelasan, tidak samar dan sulit dipahami. Sebagaimana firman Allah
SWT:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا
الْقُرْآَنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Artinya:”
Dan Sesungguhnya Telah kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, maka Adakah
orang yang mau mengambil pelajaran?. (Al Qomar: 17).
d. Kitab Suci Yang Lengkap
Al Quran
adalah kitab yang menyeluruh (syamil, komprehensif). Darinya lahir
konsep akidah Islam, tata cara beribadah, tuntutan akhlak, juga pokok-pokok
hukum. Allah SWT berfirman:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“Dan
kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini untuk menjelaskan segala sesuatu.”
(An Nahl: 89).
e. Kitab Suci Abadi
Makna Al
Quran sebagai kitab sepanjang zaman yang abadi, bukan kitab bagi suatu masa
tertentu yang kemudian habis masa berlakunya. Al Quran bukanlah kitab yang
hanya ditujukan pada suatu bangsa, sementara tidak kepada bangsa yang lain,
tidak juga untuk hanya satu warna kulit manusia, atau satu wilayah tertentu.
Tidak juga hanya bagi kalangan yang rasional, akademisi ataupun
predika-predikat lainnya. Prinsipnya, Al Quran adalah kitab suci bagi seluruh
golongan manusia. Allah SWT
berfirman:
إِنْ هُوَ إِلَّا
ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ
“Al
Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi alam semesta.” (At Takwir: 27).
G. Pengertian I’jazul
Quran
Arti
mu’jizat secara bahasa bermakna melemahkan, mengalahkan, menentang
segala hal yang berusaha melawan dan menandingi bukti kekuasaan Allah SWT. Dapat
dijelaskan diantara kemu’jizatan Al Quran tersebut meliputi:
a. Mu’jizat Inderawi (Hissiyyah)
Mukjizat
jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang
mengisyaratkan adanya “kekuatan lebih” seorang Nabi. Secara umum dapat diambil
contoh adalah mukjizat Nabi Musa dengan membelah lautan, mukjizat nabi Daud
dapat melunakkan besi serta mukjizat nabi-nabi dari bani Israil yang lain. Nabi
muhammad juga memiliki mukjizat yang bersifat indrawi setelah beliau diangkat
menjadi Rasul. Kelebihan sebelum masa kenabiannya (Irhash) bahkan sudah
tampak ketika beliau masih kecil.
b.
Mukjizat Rasional
(’Aqliyyah).
Al Quran
sebagai mukjizat Nabi Muhammad atas umatnya dari sisi ilmiah sangat rasional
dan sungguh amat menakjubkan. Al quran dengan begitu ringkasnya mampu menjelaskan tentang fenomena rotasi matahari,
juga tentang matahari sebagai pusat tata surya melampaui teori para pakar
Astronomi kala itu.
Padahal saat itu, tak satupun orang yang berani mengatakan bahwa
ternyata bumi ini berputar mengitari matahari. Dan Al Quran dengan begitu
meyakinkannya menepis teori usang tersebut hanya dalam satu ayat saja. Firman
Allah SWT:
“Dan
matahari itu berjalan (berotasi) pada titik edarnya, Demikianlah ketentuan Allah
yang Maha Agung lagi Maha Mengetahui”. (Q. S. Yasin: 38).
c. Segi Resaksi Bahasa (I'jaz Lughowi).
Sejarah
telah mengakui bahwa bangsa Arab pada saat turunnya Al Quran telah mencapai
tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa manapun di dunia ini, baik dalam
bidang kefashihan bahasa (Balaghah), kesempurnaan menyampaikan
penjelasan (Al Bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata dan lainnya.
Oleh karena bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam
bahasa dan seni sastra, sebab itulah Al Quran dengan tegas menantang mereka.
Padahal saat itu kemahiran dalam berpuisi, sya’ir, prosa (Natsar),
langgam sastra serta yang lainnya telah mereka kuasai.
d. Segi Isyarat Ilmiah (I'jaz Ilmi).
Pemaknaan
kemukjizatan Al Quran
dalam segi ilmiyyah diantaranya:
1. Dorongan serta stimulasi Al Quran kepada manusia untuk selalu berfikir
keras atas dirinya sendiri dan alam semesta yang mengitarinya.
2. Al Quran memberikan ruang sebebas-bebasnya pada pergulatan pemikiran
ilmu pengetahuan, berbeda dengan kitab-kitab lain yang memiliki kecenderungan
doktrinal tanpa ruang nalar kritis sedikitpun.
3. Al Quran dalam mengemukakan argument, penjelasan ayat-ayat ilmiah,
isyarat, fenomena alam terasa sangat simpel namun gamblang. Beberapa contoh
tentang teori-teori mutakhir misalnya:
- Teori
Asal Mula Tata Surya.
“Dan
Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu
keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu (satu kesatuan), kemudian Kami
pisahkan antara keduanya. Dan dari air (H2O) lah Kami jadikan segala sesuatu
yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?.” (QS. Al Anbiya’: 30).
- Fungsi
Angin Dalam Penyerbukan Bunga
“Dan Kami
telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan
pula hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan
sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22).
-
Sidik Jari Manusia
“Bukanlah
demikian, Sebenarnya kami mampu menyusun
(kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS Al-Qiyamah: 4).
e. Sisi Sejarah (I'jaz Tarikhiy).
Surat-surat
dalam Al Quran mencakup banyak berita tentang hal-hal yang bersifat kesejarahan
(history). Tak satupun kisah
dan sejarah masa lampau yang tak dibuktikan olehnya. Kisah-kisah tersebut telah
nyata terbukti kebenaran dan faktanya. Seperti kisah adzab Allah bagi kaum ‘Ad,
kaum Soddom, Fir’aun yang otoriter dan melampaui batas, Keruntuhan imperium Romawi
dan lain sebagainya.
H. Turunnya Al Quran
Wahyu bukanlah mimpi tidur yang mampu membuat orang ketika sedang
“mimpi buruk” misalnya, terbangun dengan nafas terengah-engah. Bukan pula
“suara aneh” yang menjadikan orang yang mendengarnya dibuat ngeri dan
detak jantungnya seperti hendak memburu dan menyergapnya. Bukan pula seperti
saat kita pernah gemetar dan berpeluh-peluh kala seseorang yang kita hormati
tiba-tiba menyuruh kita berbuat sesuatu.
Renungkanlah,
bahwa wahyu Allah SWT lebih dahsyat dari itu semua, lebih “mencekam” dalam
keagungannya. Bukan
hanya karena ia merupakan “kalam suci”, tapi lebih dari itu ia datang dari yang
Maha diatas segalanya. Maka tidak mustahil kehadirannya membuat Nabi Muhammad, yang
juga “manusia sempurna” terhenyak akan
kesempurnaan firman Tuhannya. Ada dua cara penyampaian wahyu oleh Malaikat
Jibril kepada Rasul:
a. Cara Pertama.
Datang
kepada beliau seumpama dentingan layaknya
lonceng, suara yang amat kuat membahana hingga
mengoyak batas kesadaran, sehingga Nabi untuk beberapa saat harus
mengumpulkan energi dengan segenap kekuatannya agar siap menerima pengaruh itu.
Cara inilah yang paling berat dan terkadang beliaupun harus pucat pasi
wajahnya, berpeluh pula dahinya yang mulia.
Ketika wahyu yang turun kepada
Rasulullah SAW dengan cara seperti ini maka beliau mengumpulkan semua kekuatan
kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Diisyaratkan pula dalam
hadits, suara itu ibarat “kepakan sayap-sayap malaikat”, yang dengan
keghaibannya berbeda dengan alam sadar kita sebagaimana manusia.
b. Cara Kedua.
Malaikat
menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini
lebih ringan dari pada yang sebelumnya. Karena ada kesesuaian antara pembicara
dan pendengar. Rasul merasa senang sekali mendengar dari utusan pembawa wahyu
itu, karena merasa seperti layaknya manusia yang berhadapan dengan saudaranya
sendiri.
Keduanya cara di atas disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Aisyah r.a., bahwa sahabat Haris Bin Hisyam pernah bertanya kepada
Rasulullah SAW mengenai hal tersebut, dan Nabipun menjawab:
“Kadang-kadang
ia datang kepadaku bagaikan dentingan lonceng, dan itulah yang paling berat
bagiku. Lalu ia pergi, kemudian aku telah menyadari apa yang telah
dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang
laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan akupun memahami apa yang ia katakan”.
Aisyah r.a., juga meriwayatkan apa yang dialami Rasulullah
SAW berupa kepayahan, dia berkata:
“Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun
kepadanya pada suatu hari yang amat dingin, lalu malaikat itu pergi. Sedang keringatpun
tampak mengucur dari dahi Rasulullah”.
Allah SWT
menjelaskan secara umum tentang turunnya Al Quran dalam tiga tempat dalam Al
Quran, masing-masing:
- Al Quran diturunkan pada bulan Ramadhan:
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur`an.” (Al Baqarah: 185).
2. Al quran diturunkan pada malam Lailatul Qadar:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam lailatul qadar.” (Al
Qadr: 1).
3. Al Quran diturunkan pada malam yang diberkahi:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ
فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur`an) pada malam yang
diberkahi.” (Q. S.
Ad Dukhan: 3).
Ketiga ayat diatas tidaklah
bertentangan (tanaaqudh), karena malam yang diberkahi adalah malam
Lailatul qadar dalam bulan Ramadhan. Meskipun jika ditilik dari sisi dzahir
ayat, terkesan bertentangan dengan masa hidup Rasulullah SAW, dimana Al quran
turun kepadanya selama rentang waktu dua puluh tiga tahun. Dalam hal ini
sahabat Ibnu Abbas r. a berpendapat sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan turunnya Al Quran dalam ketiga ayat
diatas adalah turunnya Al Quran sekaligus di Baitul `Izzah (Rumah Keagungan)
dihadapan para Malaikat demi menghormati kebesarannya. Kemudian sesudah itu Al
Quran diturunkan kepada Rasul kita Nabi Muhammad SAW secara bertahap selama dua
puluh tiga tahun, sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sejak
beliau diutus hingga wafatnya. Pendapat
ini didasarkan pada berita-berita yang sahih dari Ibnu Abbas dalam beberapa
riwayat. Antara lain:
a. Ibn Abbas berkata: Al Quran sekaligus diturunkan ke langit dunia pada
malam Lailatul Qadar, kemudian setelah itu ia diturunkan selama dua puluh tahun.
“Lalu ia membacakan: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling
baik penjelasannya.” ( Al Furqan: 33 ).
وَقُرْآَنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Al Qur`an itu telah
Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan
kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian”. (Al Isra`: 106 ).
b. Ibn Abbas r.a berkata: Al Quran itu dipisahkan dari Adz Dzikr, lalu
diletakkan dari Baitul Izzah di langit dunia. Maka jibril mulai menurunkannya
kapada Nabi saw.
c. Ibn Abbas r.a mengatakan: Allah
menurunkan Al Quran sekaligus kelangit dunia, temmponya turunnya secara
berangsur-angsur. Lalu Dia menurunkannya kepada Rasulnya bagian demi bagian.
d. Ibn Abas r.a berkata: Al Quran diturunkan pada malam lailatul
qadar, pada bulan ramadhan ke langit dunia sekaligus; lali ia diturunkan secara
berangsur-angsur.
Yang
dimaksud dengan turunnya Al Quran dalam ketiga ayat diatas adalah permulaan
turunnya Al Quran pada Rasulullah SAW. Permulaan turunnya Al Quran di mulai
pada malam Lailatul Qadar di bulan Ramadhan, yang merupakan malam yang di
berkahi. Kemudian turunnya berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan
kejadian dan peristiwa-peristiwa selam kurang lebih dua puluh tiga tahun.
Dengan demikian Al Quran
hanya satu macam cara turun, yaitu turun secara bertahap kepada Rasulullah SAW
seba yang demikian inilah yang dinyatakan dalam Al Quran:
وَقُرْآَنًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan
dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia
dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (Al Isra`:
106).
Ada juga
yang berpendapat,
bahwa selama dua puluh tiga tahun tersebut, Lalilatul Qadar datang
di setiap malam dan waktunya telah ditentukan oleh Allah SWT.
I. Makkiyyah Dan Madaniyyah
Para Ulama begitu tertarik
untuk menyelidiki surah-surah Makki dan Madani. Mereka meneliti
Al Quran ayat demi ayat dan surah-demi surah untuk ditertibkan, sesuai dengan
nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Bahkan lebih
dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat dan pola kalimat. Cara
demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan pada peneliti obyektif,
gambaran mengenai penyelidikan, ilmiah tentang ilmu makki dan madani. Dan itu
pula sikap Ulama kita dalam melakukan pembahasan-pembahasan terhadap aspek
kajian Al Quran lainnya. Yang dipelajari para Ulama dalam pembahasan ini
adalah:
1. Yang diturunkan di Makkah.
2. Yang diturunkan di Madinah.
3. Yang diperselisihkan.
4. Ayat-ayat Makkiyyah dalam surah-surah Madaniyyah.
5. Ayat-ayat Madinah dalam surat Makkiah.
6. Yang diturunkan di Makkah sedang hukumnya Madani.
7. Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah (Makki) dalam
kelompok Madani.
8. Yang serupa dengan yang diturunkan di madinah (Madani) dalam
kelompok Makki.
9. Yang dibawa dari Makkah ke Madinah.
10. Yang dibawa dari Madinah ke Makkah.
11. Yang turun di waktu malam dan siang.
12. Yang turun dimusim panas dan dingin.
13. Yang turun diwaktu menetap dan dalam perjalanan.
a. Cara Menentukan Makki Dan Madani
Untuk mengetahui dan menentukan
makki dan madani para ulama bersandar pada dua cara utama:
1. Manhaj Sima`i Naqli (metode
pendengaran seperti apa adanya). Cara Sima'i Naqli didasarkan pada
riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya
wahyu. Atau dari para tabi`in yag menerima dan mendengar dari para sahabat
sebagaiamana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu
itu. Sebagian besar penentuan makki dan madani itu didasarkan pada cara
pertama. Dan cotoh-contoh diatas adalah bukti paling baik baginya. Penjelasan
tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab Tafsir bil ma`tsur,
kitab Asbabun Nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur`an.
2. Manhaj Qiyasi Ijtihadi (menganalogikan
dan ijtihad). Cara Qiysi Ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri makki
dan madani. Apabila dalam surah makki terdapat suatu ayat yang mengandung ayat
madani atau mengandung persitiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani.
Dan sebaliknya. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Makki, maka surah itu
dinamakan surah Makki. Juga sebaliknya. Inilah yang disebut Qiyas Ijtihadi.
b. Perbedaan Makki dan Madani
Untuk membedakan makki dan
madani, para ulama mempunyai tiga cara pandangan yang masing-masing mempunyai
dasarnya sendiri.
1. Dari Segi Waktu Turunnya.
Makki
adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan dimekkah. Madani adalah
yang turun sesudah hijrah meskipun bukan di madinah. Yang diturunkan sesudah
hijrah sekalipun dimekkah atau Arafah adalah madani. Contoh ayat yang
diturunkan pada tahun penaklukan kota Makkah seperti firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak.”
(An Nisa`: 58 ).
Ayat ini
diturunkan di Makkah dalam Ka`bah pada tahun penaklukan Makkah. Pendapat ini
lebih baik dari kedua pendapat berikut. Karena ia lebih memberikan kepastian
dan konsisten.
2. Dari Segi Tempat Turunnya.
Makki adalah yang turun di Makkah dan sekitarnya. Seperti Mina, Arafah dan
Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di Madinah dan sekitarnya.
Seperti Uhud, Quba` dan Sil`a. Pendapat ini mengakibatkn tidak adanya pembagian
secara konkrit yang mendua. Sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabukh atau
di Baitul Maqdis tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak
dinamakan Makki ataupun Madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di
Makkah sesudah hijrah disebut Makki.
3. Dari Segi Sasaran Pembicaraan.
Makki
adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Makkah dan Madani ditujukan
kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan
bahwa ayat Al Quran yang mengandung seruan Yaa ayyuhannas (wahai
manusia) adalah Makki, sedang ayat yang mengandung seruan Yaa ayyu
halladziina aamanuu (wahai orang-orang yang beriman) adalah Madani.
Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita
bahwa kebanyakan surah Al Quran tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan
itu, dan ketentuan demikianpun tidak konsisten. Misalnya surah Al Baqarah itu
Madani, tetapi didalamnya terdapat ayat Makki.
c. Ciri-Ciri Khas Makki Dan Madani.
Para Ulama telah meneliti
surah-surah Makki dam Madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi
keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan
yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan
ciri-ciri tersebut.
1. Ketentuan Surat Makkiyah.
a. Setiap surah yang didalamnya mengandung “Sajdah” maka surah itu
Makki.
b. Setiap surah yang mengandung lafal “kalla” berarti makki.
Lafadz ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Al Quran dan disebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas
surah.
c. Setiap surah yang mengandung yaa ayyuhan naas dan tidak
mengandung “yaa ayyuhal ladzinaa amanuu”, berarti Makki. Kecuali surah
al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ayat “yaa ayyuhal ladziina amanuur
ka`u wasjudu”. Namun demikian sebagian besar Ulama berpendapat bahwa ayat
tersebut adalah Makki.
d. Setiap surah yang menngandung kisah para nabi umat terdahulu adalah
makki, kecuali surah Al Baqarah.
e. Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah Makki,
kecuali surat Al Baqarah.
f.
setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf
singkatan seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lain-lain adalah
Makki. Kecuali surah Al Baqarah dan Ali Imran, sedang surah Ar Ra`ad masih
diperselisihkan oleh Ulama’.
j. Tema dan Gaya Bahasa Surat Makkiyah
Dari segi ciri tema dan gaya
bahasa, ayat Makky dapatlah diringkas sebagai berikut:
a. Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian
mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan
kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi dengan
orang musyrik dengan menggunkan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
b. Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan ahlak mulia
yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat. Menyingkap akan kebiasaan
orang musyrik dalam pertumpahan darah, dosa memakan harta anak yatim secara
dzalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.
c. Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran
bagi mereka sehingga megetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan
sebagai hiburan untuk Rasulullah SAW sehingga ia tabah dalam mengadapi gangguan
dari mereka dan yakin akan menang.
d. Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali. Pernyataannya singkat, terdengar sangat keras, menggetarkan
hati, dan maknanyapun meyakinkan dengan diperkuat lafadz-lafadz sumpah dan biasanya
surah-surahnya juga pendek.
k. Ketentuan Surat Madaniyyah
a. Setiap surah yang berisi kewajiban atau sanksi (hadd) adalah
madani.
b. Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah
Madani, kecuali surah al-ankabut adalah Makki.
c. Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah
Madani.
l. Tema, Gaya Bahasa Surat Madaniyah
Dari segi ciri khas, tema dan
gaya bahasa, dapatlah diringkaskan sebagai berikut:
a. Menjelaskan ibadah, muamalah, hadd,
kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasiaonal baik
diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
b. Seruan terhadap ahli kitab, dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Ajakan
kepada mereka untuk masuk
Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka, terhadap kitab-kitab
Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, dan perselisihan mereka setelah
ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
c. Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisa
kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
d. Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang
memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
J. Ayat Pertama Dan Terahir
a. Ayat Pertama (Awwalu Ma Nazala)
Secara umum ada dua pendapat
yang dikenal tentang bagaimanakan dan kapankah ayat Al Quran yang turun pertama
kali. Masing-masing diantara Para Ulama’ telah berpendapat disertai dalil-dalil
yang menguatkannya, antara lain:
1. Pendapat Pertama: Surat Al-Alaq 1-5
Yang paling sahih mengenai yang
pertama kali turun ialah firman Allah:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ
مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3)
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)
Artinya: “Bacalah dengan nama
Tuhanmu Yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah.
Yang mengajar dengan perantara Qalam (pena). Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al `Alaq: 1-5).
Pendapat ini didasarkan pada
suatu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a yang mengatakan:
”Sesungguhnya apa yang
mula-mula terjadi bagi Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar di waktu tidur.
Dia melihat dalam mimpinya ia datang bagaikan terangnya di pagi hari. Kemudian
dia suka menyendiri, dia pergi kegua Hira` untuk beribadah beberapa malam.
Untuk itu ia membawa bekal, kemudian ia pulang kepada Khadijah r.a maka
Khadijah membekali seperti bekal yang dulu. Di gua Hira` dia dikejutkan oleh
suatu kebenaran. Seorang malaikat datan kepadanya dan mengatakan: “Bacalah` Rasulullah
SAW menceritakan, maka akupun menjawab “aku tidak pandai
membaca!”.
malaikat tersebut kemudian memelukku sehingga aku merasa sangatlah payah. Lalu aku dilepaskan,
dan dia berkata lagi, “Bacalah!”. Maka akupun menjawab, “Aku tidak pandai
membaca”.
Kemudian dia merangkulku untuk kedua kalinya, sehingga aku
merasa amat payah. Kemudian ia lepaskan lagi, dan berkata, “Bacalah!”. Akupun
kembali
menjawab,
“aku
tidak pandai membaca”
maka ia merangkulku untuk ketiga kali, sehinggga aku kepayahan, kemudian ia
berkata,
“Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan…” sampai dengan…. Apa yang
tidak diketahuinya.”
2. Pendapat Kedua: Surat Al Muddattsir
Dikatakan pula, bahwa yang
pertama kali turun adalah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1)
“Wahai
orang yang berselimut.” (Al Mudatstsir: 1)
b. Yang Terakhir Turun (Akhiru
Ma Nazala)
Pendapat Ulama seputar ayat
yang terakhir kali diturunkan begitu banyak, diantaranya sebagai berikut.
1. Dikatakan bahwa ayat terakhir yang diturunkan itu adalah ayat mengenai
riba.
Ini didasarkan pada hadis
yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas, yang mengatakan: “Ayat
terakhir yang diturunkan adalah ayat mengenai riba.”
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba.” (Al
Baqarah: 278).
2. Dan dikatakan pula bahwa ayat Al Qur`an yang terakhir turun adalah
firman Allah :
وَاتَّقُوا
يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
“Dan
peliharalah dirimu dari hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada
Allah.” (Al Baqarah: 281).
3. Juga dikatakan bahwa yang terakhir turun ialah ayat mengenai hutang
piutang. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Said Bin Al Musayyab: “Telah
sampai kepadanya bahwa ayat Qur`an yang paling muda di arsy ialah ayat mengenai
hutang.”
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Al
Baqarah: 282).
Catatan:
Ketiga riwayat di atas dapat dipadukan, yaitu bahwa
ketiga ayat tersebut diatas diturunkan sekaligus seperti tertib urutannya di dalam
mushaf. Ayat mengenai riba, ayat pemelliharaan diri dari adzab, kemudian ayat
mengenai hutang, berada dalam satu runtutan penyebutan. Dengan demikian maka
ketiga ayat itu tidak saling bertentangan.
Banyak pula ragam pendapat
tentang masalah ayat yang terakhir kali turun, seperti
diantaranya:
1. Dikatakan bahwa ayat 128-129 surat At Taubah, adalah
ayat terakhir yang turun pada Nabi.
2. Dikatakan pula bahwa yang terakhir kali turun adalah surah Al Maidah.
3. Juga diriwayatkan bahwa yang terkhir kali turun ialah ayat 195 surat Ali
Imran.
4. Diriwayatkan pula bahwa ayat terakhir
yang turun adalah ayat 93 surat An Nisa`.
5. Dari Ibn Abbas dikatakan, bahwa surah terakhir yang diturunkan yaitu
surat An Nashr.
K. Asbabun Nuzul
Ketika terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat mengenai peristiwa tersebut. Asbabun Nuzul (sebab
turunnya ayat) melatarbelakangi setiap wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah. Contoh
dalam hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan:
"Ketika turun, ayat:
Dan
peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS Hijr: 94)
Nabi pergi dan naik ke bukit
Shafa, lalu berseru:
“Wahai kaumku!", maka mereka berkumpul mendekat ke Nabi. Ia
berkata lagi: “Bagaimana
pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung itu ada sepasukan
berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa yang aku katakan?.”
Mereka menjawab: “kami belum pernah melihat engkau berdusta.
Dan Nabi melanjutkan: “aku memperingatkanmu tentang siksa yang pedih.’’
Mendengar itu seketika Abu Lahab berkata:
“Celakalah engkau”, apakah
engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?”
Lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1)
Artinya: Celakalah kedua
tangan Abu Lahab.
(Q.S. Al Masad:
1).
L. Pengumpulan Al Quran
Para
sahabat telah dikenal dengan kecintaan mereka dan semangat mereka dalam
menghafal Al Quran Dalam kitab sahihnya Bukhari telah mengemukakan adanya tujuh
Huffadzh di masa sahabat, melalui tiga riwayat. Mereka-mereka yang sangat
berjasa itu adalah:
1. Abdullah Bin Mas'ud.
2. Salim Bin Ma'qal (dulunya budak Abu Hudzaifah).
3. Muaz Bin Jabal.
4. Ubai Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan
7. Abu Darda'.
Penyebutan
para hafidz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena
beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan sunan menunjukkan bahwa para
sahabat berlomba menghafalkan Al Qur'an dan mereka memerintahkan anak-anak dan isteri-isteri
mereka untuk menghafalkannya.
a. Pengumpulan Pada Masa Nabi
Beberapa
penjelasan terkait penulisan Al Quran dimasa nabi adalah sebagai berikut :
1.
Rasulullah meminta
beberapa sahabat untuk menuliskan wahyu.
Rasullullah
telah mengangkat para penulis wahyu Al Qur'an dari sahabat-sahabat terkemuka
seperti Ali, Muawiyah, Ubai Bin Ka'ab dan Zaid Bin Tsabit, bila ayat turun ia
memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam
surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan di dalam hati.
2.
Beberapa sahabat
berinisiatif menuliskan secara mandiri.
Sebagian
sahabat menuliskan Al Qur'an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa
diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu,
daun lontar, kulit kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang dan lainnya.
Zaid Bin Tsabit mengatakan:
"Kami
menyusun Al Qur'an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang. "
Tulisan-tulisan Al Qur'an pada masa Nabi tidaklah terkumpul dalam satu
mushaf, tulisan yang ada pada salah seorang sahabat belum tentu dimiliki oleh sahabat
lainnya. Rasulullah berpulang ke rahmatullah disaat Al Qur'an telah dihafal dan
tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Setiap ayat dan
surah-surah dipisah-pisahkan, ditertibkan ayat-ayatnya, selain itu setiap surah
berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Namun saat itu Al
Quran belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang lengkap.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Al Quran diturunkan tidak sekaligus, tetapi berangsur-angsur dan
terpisah-pisah. Tidaklah mungkin untuk membukukannya sebelum secara
keseluruhannya selesai.
b. Sebagian ayat ada yang di mansukh, bila turun ayat yang
menyatakan nasakh, maka bagaimana mungkin bisa dibukukan datam satu
buku.
c. Susunan ayat dan surat tidaklah berdasarkan urutan turunnya. Sebagian
ayat ada yang turunnya pada saat terakhir wahyu tetapi urutannya ditempatkan
pada awal surat. Yang demikian tentunya menghendaki perubahan susunan tulisan.
d. Masa turunnya wahyu terakhir dengan wafatnya Rasululah SAW adalah
sangat pendek atau dekat. Kemudian Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah
setelah sembilan hari dari turunnya ayat tersebut. Dengan demikian masanya
relatif singkat, yang tidak memungkinkan untuk membukukannya sebelum sempurna
turunnya wahyu.
e. Belum ada motifasi/alasan yang mendorong untuk mengumpulkan Al Quran
menjadi satu mushhaf sebagaimana yang timbul pada masa Abu Bakar. Orang-orang
Islam dalam keadaan baik, ahli baca Al Qur'an begitu banyak, fitnah-fitnah dapat
diatasi. Berbeda pada masa Abu Bakar dimana gejala-gejala telah ada, dan banyaknya
sahabat yang gugur, sehingga beliau merasa khawatir kalau Al Quran akan lenyap.
f.
Keistimewaan-keistimewaan di atas membuat para
sahabat kagum dan terpesona terhadap usaha Abu Bakar, dimana ia memelihara Al
Quran dari bahaya kemusnahan, dan itu berkat taufiq serta hidayah dari Allah
Azza wa Jalla. Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata:
"Orang
yang paling berjasa dalam hal Al-Qur'an ialah Abu Bakar r.a., ia adalah orang
yang pertamakali mengumpulkan Al Quran.”
M. Tertib Ayat Dan Surat
a. Penyusunan Tertib Ayat
Al Qur'an
terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang.
Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Al Qur'an.
Tertib atau urutan ayat-ayat Al Qur'an adalah bersifat tauqifi
(ketentuan dari Rasulullah). Argumentasi tersebut didasarkan pada:
1. Utsman Bin 'Abil 'Ash berkata:
"Aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba panadangannya
menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya: “Jibril telah
datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini ditempat dari
surah ini:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan
serta memberi kepada kaum kerabat…..(An
Nahl: 90).
2. Terdapat sejumlah hadits yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari
surah-surah tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi.
Sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung
oleh hadits-hadits tersebut. Diriwayatkan dari Abu Darda' dalam hadis marfu':
"Barang
siapa hafal sepuluh ayat dari awal surah Al Kahfi, Allah akan melindunginya
dari Dajjal."
Dan dalam
redaksi lain dikatakan:
"Barang
siapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surah Al Kahfi, maka.....…"
3. Disamping itu pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah
dengan tertib ayat-ayatnya dalam shalat atau dalam khutbah jumat, seperti surah Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa'.
4. Juga dalam sebuah hadits sahih dijelaskan bahwa Rasulullah membaca
surah Al A'raf dalam shalat maghrib dan dalam salat shubuh. Pada hari jum'at
beliau membaca surah Alif Lam Mim, Tanzilul Kitabi La Raiba fihi"
(As Sajdah) dan “Hal Ata Alal Insani” (Ad Dahr). Beliau juga membaca
surah Qaf pada waktu khutbah, surah Al Jumu'ah dan surah Al Munafiqun dalam shalat
jum'at.
5. Jibril selalu mengulangi dan memeriksa Al Quran yang telah
disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan dan
pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan dari pengulangan Malaikat
Jibril terakhir yang seperti inilah tertib ayat dan surat yang dikenal sekarang
ini.
Kesimpulannya,
ketentuan tertib surat dan ayat-ayat Al Quran seperti yang ada dalam mushaf
yang beredar diantara kita adalah bersifat tauqifi tanpa diragukan lagi.
b. Penyusunan Tertib Surah
Para Ulama
juga berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Al Quran, diantara
pendapat-pendapat itu adalah:
1. Bahwa susunan surat itu tauqifi dan ditangani langsung oleh
Nabi sebagaimana diberitahukan Malaikat Jibril kepadanya atas perintah Allah. Dengan
demikian, Al Qur'an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib
sebagaimana tertib ayat-ayatnya. Seperti yang ada ditangan kita sekarang ini. Tertib
mushaf Utsmani yang tak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan
telah terjadi kesepakatan (ijma') atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan
apa pun.
2. Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad (pendapat) para
sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka. Misalnya,
mushaf Ali disusun menurut urutan turunnya (tartibun nuzul), yakni
dimulai dengan Iqra', kemudian Al Muddatstsir, lalu Nun, Al Qalam, kemudian Al
Muzammil dst., hingga akhir surah Makki dan Madani. Dalam mushaf Ibn Masu'd,
yang pertama ditulis adalah surah Al Baqarah, An Nisa' dan Ali Imran. Sedangkan
dalam mushaf Ubai yang pertamakali ditulis adalah surah Al Fatihah, Al Baqarah,
An Nisa' dan Ali Imran.
3. Dijelaskan pula bahwa sebagian surah itu tertibnya adalah bersifat tauqifi
dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat
dalil yang menunjukkan akan tertib sebagian surah pada masa Nabi.
N. Pengertian Tajwid
Tajwid
secara bahasa artinya At Tahsiin Wal Ijaadah (memperbaiki dan
membaguskan). Sedangkan secara Istilah, Tajwid mengandung pengertian:
التجويد: هو إعطاء الحروف حقوقها و ترتيبها, و رد الحرف إلى مخرجه و أصله,
و تلطيف النطق به على كمال هيئة من غير إسراف ولا تعسف ولا إفراط ولا تكلف.
Tajwid
adalah: Memberikan setiap huruf hak-haknya dan
susunannya, mengembalikan huruf pada makhrojnya dan asalnya, menghaluskan
pelafalan pada kondisi yang sempurna, tanpa berlebihan dan pembebanan.
Sedangkan
ilmu tajwid diartikan sebagai: ilmu yang menjelaskan hukum-hukum dan kaidah-kaidah
yang harus dijaga pada saat membaca Al quran, sesuai dengan apa yang
dipraktekkan kaum muslimin, dari generasi ke generasi, dari Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW bersabda:
"Seseorang
yang pandai membaca Al Quran akan bersama malaikat yang mulia, sedangkan yang
membaca Quran dengan terbata-terbata dan kesusahan, maka baginya ada dua
pahala". (HR Bukhori-Muslim).
1. Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid
Para
ulama Tajwid bersepakat bahwa setiap muslim dituntut untuk mempelajari
hukum-hukum tilawah, dan memperhatikannnya ketika sedang membaca Al Quran.
Sedangkan lalai dalam masalah ini tanpa
udzur syar'i yang bisa diterima adalah termasuk berdosa. Objek pembahasan dalam Ilmu
Tajwid, secara garis besar meliputi:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan Nun mati dan tanwin (Ahkamu Nunussakinah
wat Tanwin)
2. Hukum-hukum berkaitan dengan Hamzah (Ahkaamul Hamzah)
3. Tata Cara Berhenti (Kaifiyah Al Waqf).
4. Makhorijul Huruf (Tempat Keluar Huruf).
5. Sifat-sifat Huruf (Shifatul Huruf)
6. Ahkamul Madd (Panjang Pendek Harokat).
2. Kesalahan Dalam Membaca
Kesalahan dalam praktek tajwid berupa kekurangan dalam
pelafadzan disebut dengan Al Lahn. Secara umum lahn bisa dibagi
menjadi dua bagian besar:
1. Lahn Al Jaliyy (kesalahan jelas) yaitu
kesalahan pelafalan/tajwid yang diketahui oleh banyak orang awam secara umum.
Misalnya adalah: salah dalam harokat (I'rob), atau salah dalam tashrif (bentuk
perubahan kalimat).
2. Lahn Al Khofiyy (kesalahan tersembunyi), yang
tidak diketahui kecuali oleh mereka yang bergelut lama di ilmu tajwid atau
pakar di bidang Qiro'at (bacaan Al Quran). Seperti dalam masalah makhorijul
huruf dan sifat-sifatnya.
O. Istilah Dalam AL Quran
Surat-surat dalam Al Quran memiliki nama tersendiri berikut perbedaan
jumlah dalam ayatnya. Ada beberapa istilah yang digunakan saat kita membuka
lembaran-lembaran mushaf Al Quran. Istilah-istilah yang telah akrab kita dengar
tersebut diantaranya:
a. Juz
Menurut bahasa juz bemakna “bagian”, atau pembagian dari sesuatu yang
utuh. Jika disederhanakan dengan sebuah lingkaran misalnya, maka Al Quran itu
dibagi menjadi 30 juz (bagian). Setiap satu juz bisa terdiri dari beberapa
surat, namun tidak semua satu juz memuat beberapa surat. Contohnya dalam juz
pertama, ternyata surat Al Baqarah juga masuk dalam juz 2.
b. Surat
Surat secara bahasa berarti “nama” yang digunakan, atau sebutan untuk
sesuatu. Artinya, ribuan ayat-ayat yang terkandung dalam Al Quran itu kemudian
dibagi dalam satu nama yang berbeda-beda. Ketika kita sedang membaca beberapa
ayat misalnya, kita akan tahu bahwa ayat yang kita baca itu terdapat dalam surat
tertentu. Posisi surat berada dalam lingkup juz, dan setiap satu surat terdiri
dari beberapa ayat. Jumlah keseluruhan surat dalam Al Quran adalah berjumlah
114 surat.
c. Ayat
Ayat secara sederhana bisa diartikan dengan “baris”. Dalam setiap satu
ayat terdiri dari beberapa suku kata, dan dalam satu kata terdapat beberapa
huruf. Ayat berada dalam surat, sehingga setiap satu surat akan memuat beberapa
ayat.
Ada ayat-ayat yang susunannya sangat panjang hingga satu halaman
penuh, ada pula yang hanya satu baris namun ada juga yang pendek. Bahkan dalam
Al Quran banyak terdapat ayat yang hanya 1 atau 2 huruf saja. Contohnya, ada
sebuah ayat yang berbunyi ق (Qoof), ن (Nuun), يس (Yaa
Siin), حم (Haa Miim).
d. Huruf
Huruf adalah abjad, yang kemudian dirangkai untuk membentuk satu kata
dan kemudian tersusun menjadi sebuah kalimat tertentu. Huruf dalam Al Quran
menggunakan huruf Arab, yang kemudian kita kenal dengan istilah huruf
Hijaiyyah. Jumlah huruf Hijaiyyah adalah terdiri dari 28 abjad. Dimulai dari
huruf Alif dan diakhiri dengan huruf Yaa’. Beberapa Ulama dan
Mufassir juga tertarik untuk menghitung jumlah huruf-huruf yang ada dalam Al
Quran.
*Sumber tulisan :Modul Ulumul Qur'an, karya Muhammad Alayk Bafarah,S.Sos.I,(Yogyakarta 2012)
0 Komentar