Telusuri

Konsep Ilmu dalam Islam

Islam sangat menghargisekali ilmu. Allah berfirman dalam banyak ayat al­ Qur’an supaya kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan. Al­Qur’an, al­Hadits dan para sahabat menyatakan supaya mendalami ilmu pengetahuan.

Allah berfirman yang artinya : “Katakanlah “Apakah sama, orang­orang yang mengetahi dengan orang yang tidak mengetahui?” Hanya orang­orang yang berakal sajalah yang bisa mengambil pelajaran.” Allah juga berfirman yang artinya : « Allah mengangkatorang­orang yang beriman daripada kamu dan orang­orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat. »

Selain al­Qur’an, Rasulullah saw juga memerintahkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu. Rasulullah saw juga menyatkan orang yang mempelajari ilmu, maka kedudukannya sama seperti seorang yang sedangberjihad di medan perjuangan.

Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi masjidku ini, yang dia tidak mendatanginya kecuali untuk kebaikan yang akan dipelajarinya atau diajarkannya, maka kedudukannya sama dengan mujahid di jalan Allah. Dan siapa yang datang untuk maksud selain itu, maka kedudukannya sama dengan seseorang yang melihat barang perhiasan orang lain.”(HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Isnadnya hasan, dan disahihkan oleh Ibnu Hibban.

Rasulullah saw juga bersabda:
“Barangsiapa yang pergi menuntut ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai dia kembali.” (HR. Timidzi).

Rasulullah saw juga bersabda:
”Barangsiapa melalui satu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memasukkannya ke salah satu jalan di antara jalan­jaan surga, dan sesungguhnya malaikat benar­benar merendahkan sayap­sayapnya karena ridha terhadappenuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang alim benar­benar akan dimintakan ampun olehmakhluk yang ada di langit dan di bumi, bahkan ikan­ikan di dalam air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid (ahli ibadah) adalah seperti keutamaan bulan purnama atasseluruh bintang­bintang yang ada. Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan Dinar ataupun dirham, mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barangsiapa mengambilnya, maka hendaklah dia mengambil bagian yang banyak.” (Hr. Abu Daud).


Selain al­Qur’an dan al­Hadist, para sahabat juga menyatakan bahwa sangat penting bagi kaum Muslimin memiliki ilmu pengetahuan. Ali bin Abi Talib ra., misalnya berkata : “Ilmu lebih baik daripada harta, oleh karena harta itu kamu yang menjaganya, sedangkan ilmu itu adalah yang menjagamu. Harta akan lenyap jika dibelanjakan, sementara ilmu akan berkembang jika diinfakkan (diajarkan). Ilmu adalah penguasa, sedang harta adalah yang dikuasai. Telah mati para penyimpan harta padahal mereka masih hidup, sementara ulama tetap hidup sepanjang masa. Jasa­jasa mereka hilang tapi pengaruh mereka tetap ada/membekas di dalam hati.”

Mu’az bin Jabal ra. mengatakan:
“Tuntutlah ilmu, sebab menuntutnya untuk mencari keridhaan Allah adalah
ibadah, mengetahuinya adalah khasyah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya
kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sedekah dan mendiskusikannya adalah tasbih. Dengan ilmu, Allah diketahui dan disembah, dan dengan ilmu pula Alah diagungkan dan ditauhidkan. Allah mengangkat (kedudukan) suatu kaum dengan ilmu, dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan Imam bagi manusia, manusia mendapat petunjuk melalui perantaraan mereka dan akan merujukkepada pendapat mereka.”

Abu al­Aswad al­Duali, murid Ali bin Abi Talib mengatakan:
“Para raja adalah penguasa­penguasa (yang memerintah) manusia, sedangkan
para ulama adalah penguasa­penguasa (yang memerintah) para raja.”

Selain pentingnya ilmu, para ulama kita juga memadukan ilmu dengan amal, fikir
dan zikir, akal dan hati. Kondisi tersebut tampak jelas dalam contoh kehidupan para ulama kita, seperti Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Bukhari. Al­Hakam bin Hisyam al­Tsaqafi mengatakan: “Orang menceritakan kepadaku di negeri Syam, suatu cerita tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci gudang kekayaan Negara atau memukulnya kalau menolak. Maka Abu Hanifah memilih siksaan daripada siksaan Allah Ta’ala.”

Al­Rabi mengatakan: “Imam Syafi‘i menghkatamkan al­Qur’an misalnya,
dalam bulan Ramadhan, enam puluh kali. Semuanya itu dalam shalat.

Imam Bukhari menyatakan: “Aku tidak menulis hadist dalam kitab Sahih kecuali aku telah mandi sebelum itu dan telah shalat dua rakaat”

Bukan saja dalam ilmu­ilmu agama, ulama kita yang berwibawa telah
mewariskan kita berbagai karya yang sehingga kini masih selalu kita rasakan manfaatnyaDalam bidang ilmu pengetahuan umum pun, para pemikir Muslim terdahulu sangat berperan. Al­Khawarizmi, Bapak matematika, misalnya, dengan gagasan aljabarnya telah sangat mempengaruhi perkembangan ilmu matematika. Tanpa pemikiran al­Khawarizmi, tanpa sumbangan angka­angka Arab, maka sistem penulisan dalam matematika merupakan sebuah kesulitan. Sebelum memakai angka­angka Arab, dunia Barat bersandar kepada sistem angka Romawi. Bilangan 3838, misalnya, jika ditulis dengan sistem desimal atau angka Arab, hanya membutuhkan empat angka. Namun, jika ditulis dengan angka Romawi, maka dibutuhkan tiga belas angka, yaitu MMMDCCCXLVIII. Demikian juga ketika dalam bentuk perkalian. 34 kali 35 akan lebih mudah mengalikannya jika dibanding dengan XXXIV dan XXXV.

Terbayang oleh kita betapa rumit, dan bertele­telenya sistem penulisan angka Romawi. Dengan penggunaan angka­angka Romawi, maka akan banyak memakan waktudan tenaga untuk mengoperasikan sistem hitungan. Seandainya dunia Barat masih berkutat dengan menggunakan angka Romawi, tentunya mereka masih mundur. Sebabnya, angka Romawi tidak memiliki kesederhanaan. Namun, disebabkan sumbanganangka­angka Arab, disebabkan sumbangan pemikiran al­Khawarizmi, maka pengerjaan hitungan yang rumit pun menjadi lebih sederhana dan mudah. Menarik untuk dicermati, al­Khawarizmi menulis karyanya dalam bidang matematika karena didorong oleh motivasi agama untuk menyelesaikan persoalan hukum warisan dan hukum jual­beli.

Selain itu, masih banyak lagi pemikir Muslim yang sangat berperan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah seorang diantaranya adalah Ibn Sina. Ketika baru berusia 21 tahun, beliau telah menulis al­Hasil wa al­Mahsul yang terdiri dari 20 jilid. Selain itu, beliau juga telah menulis al­Shifa (Penyembuhan), 18 jilid; al­Qanun fi al­Tibb (Kaidah­Kaidah dalam Kedokteran), 14 jilid; Al­Insaf (Pertimbangan), 20 jilid; al­Najat (Penyelamatan), 3 jilid; dan Lisan al­’Arab (Bahasa Arab), 10 jilid. Karyanya al­Qanun fi al­Tibb telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin di
Toledo Spanyol pada abad ke­12. Buku al­Qanun fi al­Tibb dijadikan buku teks rujukan
utama di universitas­universitas Eropa sampai abad ke­17.

Disebabkan kehebatan Ibn Sina dalam bidang kedokteran, maka para sarjana Kristen mengakui dan agum dengan Ibn Sina. Seorang pendeta Kristen, G.C. Anawati, menyatakan: “Sebelum meninggal, ia (Ibnu Sina) telah mengarang sejumlah kurang lebih 276 karya. Ini meliputi berbagai subjek ilmu pengetahuan seperti filsafat, kedokteran, geometri, astronomi, musik, syair, teologi, politik, matematika, fisika, kimia, sastra, kosmologi dan sebagainya.”

Disebabkan kehebatan kaum Muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan, maka
sebenarnya pada zaman kegemilangan kaum Muslimin, orang­orang Barat meniru
kemajuan yang telah diraih oleh orang­orang Islam. Jadi, kegemilangan Barat saat ini tidak terlepas daripada sumbangan pemikiran kaum Muslimin pada saat itu. Hal ini telah diakui oleh para sarjana Barat.

Selain itu, para ulama kita dahulu menguasai beragam ilmu. Fakhruddin al­Razi
(1149­1210), misalnya, menguasai al­Qur’an, al­Hadith, tafsir, fiqh, usul fiqh, sastra arab,perbandingan agama, logika, matematika, fisika, dan kedokteran. Bukan hanya al­Qur’andan al­Hadits yang dihafal, bahkan beberapa buku yang sangat penting dalam bidang usulfikih seperti al­Shamil fi Usul al­Din, karya Imam al­Haramain al­Juwayni, al­Mu‘tamad karya Abu al­Husain al­Basri dan al­Mustasfa karya al­Ghazali, telah dihafal oleh Fakhruddin al­Razi.

Sumber : Adnin Armas, M.A.

Posting Komentar

0 Komentar