Telusuri

Merombak kurikulum demi kesetaraan gender

Salah satu proyek favorit dalam liberalisasi Islam adalah penyebarluasan paham kesetaraan gender di tengah masyarakat Muslim. Proyek ini banyak sekali mendapatkan bantuan dari negara-negara Barat. Biasanya, proyek ini berlindung di balik jargon ”meningkatkan martabat wanita”. Sebagai contoh, simaklah salah satu program politik luar negeri AS di Indonesia: ”Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesantren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan.” (lihat:http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html)

Disamping AS, negara-negara Barat lainnya, seperti Kanada, Australia, dan sebagainya, juga aktif membantu pendanaan proyek-proyek gender di Indonesia. Dengan proyek gender itulah, katanya, mereka bermaksud memajukan kaum wanita di Indonesia. Karena dananya begitu melimpah, maka tidak mengherankan, jika proyek gender ini banyak mendapatkan peminat. Ada gula ada semut. Ada uang ada proyek. Jika mau dapat uang cepat, ambil saja proyek kesetaraan gender.

Tidak dapat dipungkiri, memang banyak kaum wanita yang tertinggal. Banyak wanita yang menderita. Banyak wanita yang tertindas. Banyak wanita yang kurang berpendidikan. Maka, wajar jika kita menduga, tuan-tuan dari negara-negara Barat yang katanya terhormat dan menghormati tradisi umat lain, akan menghormati ajaran dan tradisi keagamaan umat Islam. Kita mengandaikan, mereka mengenal konsep amal jariyah. Uang ratusan milyar rupiah mereka kucurkan untuk proyek-proyek gender, dengan tujuan mengangkat derajat kaum wanita Indonesia. Wanita yang tidak mampu sekolah, berikanlah beasiswa kepada mereka, tanpa harus mengubah pandangan hidup dan keyakinan mereka terhadap agamanya.

Ternyata, apa yang kita bayangkan tentang Tuan-tuan dari negara Barat itu tidak berbeda dengan kaum misionaris yang membagi-bagi makanan kepada kaum Muslim dengan misi perubahan agama. Dalam soal gender, hal yang serupa juga terjadi. Sebagian kaum Muslim, terutama yang kebagian jatah proyek gender, mengeruk keuntungan duniawi, meskipun jelas-jelas disertai dengan misi mengubah keyakinan dan persepsi wanita muslimah terhadap ajaran agamanya sendiri.

Yang dilakukan oleh para penyebar proyek gender ini adalah perusakan pemikiran, satu bentuk orientalisme modern dan penjajahan pemikiran. Bahkan, bisa dikatakan, misi ini jauh lebih kotor ketimbang kaum misionaris yang secara terang-terangan membawa misi perubahan agama. Misi gender ini juga lebih mengerikan, karena dilakukan oleh sarjana-sarjana agama, bahkan terkadang membawa bendera organisasi atau lembaga pendidikan Islam tertentu.

Salah satu lembaga yang aktif menyebarkan misi gender ini adalah UIN Yogya, melalui lembaga Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Yogya. Dengan dukungan dari proyek ”IAIN Indonesia Social Equity Project” (IISEP), yang didanai oleh pemerintah Kanada, PSW UIN Yogya menerbitkan sejumlah buku tentang proyek kesetaraan gender. Sasaran dari proyek ini bukan hanya pada tingkat Perguruan Tinggi, tetapi juga pendidikan dasar dan menengah. Salah satu program lembaga ini adalah menyusun kurikulum pendidikan yang berwawasan gender. Karena itulaah, lembaga ini sibuk meneliti buku-buku di sekolah-sekolah dasar dan menengah yang dinilai masih bias gender dan perlu digantikan dengan kurikulum yang tidak bias gender.

Tahun 2004, PSW UIN Yogya menerbitkan sebuah buku berjudul Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. Melalui buku ini, kita bisa melihat dengan jelas, apa sebenarnya isi kepala para dosen dan peneliti di UIN Yogya, sehingga mereka begitu menggebu-gebu untuk merombak kurikulum pendidikan yang dinilai masih bias gender.

Sebagaimana biasa, sebelum melakukan perombakan konsep-konsep dan hukum-hukum Islam,
kaum liberal mendahuluinya dengan menempatkan posisi nash al-Quran sebagai teks sejarah dan produk budaya. Karena itulah, tafsir yang digunakan pun adalah hermeneutika yang berujung pada relativisme nilai. Mengawali pembahasan tentang isu-isu gender, buku ini memaparkan konsep relativisme Tafsir:

”Teks-teks keagamaan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terlepas dari konteksnya. Oleh karena itu, ia juga tidak bisa dipahami, kecuali dalam relasinya dengan entitas lainnya. Pada tataran inilah pentingnya kita melihat kembali teks dan pemahaman serta penafsirannya secara epistemologis dan hermeneutis. Bila ini sudah dilakukan, maka penafsiran dan pemahaman ulang terhadap al-Quran dan hadis, terasa bukan sebagai sesuatu yang tidak normal, tapi malah sebagai keniscayaan. Mengapa menjadi niscaya, karena pola pemahaman keagamaan itu melibatkan dimensi kreatif manusia, maka tidak ada yang ”tabu” dalam pemahaman keagamaan untuk ditelaah ulang, karena siapa tahu jika yang selama ini kita anggap sebagai kebenaran dogma agama itu – dalam istilah Peter L. Berger dan Luckmann – adalah sesuatu yang bersifat socially constructed belaka.” (hal. 2)

Karena percaya pada relativitas pemahaman manusia, maka bagi dosen-dosen dan peneliti di PSW-UIN Yogya, tidak ada konsep atau hukum Islam yang bersifat tetap. Semua bisa berubah. Mereka berprinsip bahwa pemahaman hukum-hukum Islam adalah produk pemikiran para ulama yang berlatarbelakang kondisi sosial tertentu, sehingga hukum atau pemikiran itu hanyalah suatu ”konstruk sosial” tertentu. Mereka menolak universalitas hukum Islam. Hukum-hukum Islam yang memberikan perbedaan antara laki-laki dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan mereka pandang sebagai produk budaya tertentu.

Di sinilah letak kelucuan pola pikir kaum gender ini. Mereka menolak universalitas hukum Islam, tetapi pada saat yang sama, mereka menjadikan konsep ”kesetaraan gender” ala Barat sebagai pemahaman yang universal, abadi, dan tidak berubah. Padahal, konsep kesetaraan gender itu juga merupakan produk sosial dan budaya masyarakat Barat. Karena itu, logisnya, konsep ini juga bersifat lokal, dan tidak bisa dipaksakan kepada semua umat manusia.

Masyarakat Barat di masa Yunani Kuno dan menurut ajaran Kristen tidak menerima konsep ”kesetaraan gender” ala Barat modern sekarang ini. Sesuai dengan prinsip relativisme dan evolusi nilai, maka konsep wanita di Barat juga mengalami dinamika sepanjang sejarahnya. Di zaman Yunani Kuno – cikal bakal peradaban Barat -- misalnya, wanita terhormat justru tidak keluar rumah, kecuali karena alasan yang sangat penting. Nikolaos A. Vrissimtzis, dalam bukunya, Love, Sex, and Marriage in Ancient Greece, menulis: “Sebuah kehormatan jika wanita selalu berada di dalam rumah. Berada di jalan adalah sesuatu yang tidak berguna.” Pada abad ke-6 SM, perkawinan dianggap sah jika memenuhi sejumlah syarat: engyesis (mahar), perjanjian antara calon suami dengan ayah mempelai wanita, serta ekdosis (penyerahan mempelai wanita kepada keluarga mempelai laki-laki). (Lihat, Nikolaos A. Vrissimtzis, Erotisme Yunani (Terj. oleh Shofa Ihsan), (Bekasi: Menara, 2006)).

Tapi, para pengusung dan pengasong paham kesetaraan gender ini seperti tidak mau tahu. Mereka memandang hukum-hukum Islam yang membeda-bedakan antara laki-laki dan wanita perlu ditinjau kembali, karena hal itu termasuk dalam kategori ”bias gender”. Seperti kaum sedang ”kerasukan” setan, buku Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah ini membongkar ajaran-ajaran Islam yang sudah final dan selama ini sudah diterima oleh kaum Muslimin sebagai satu Ijma’ dari generasi ke generasi.

Hampir tidak ada aspek hukum yang luput dari gugatan kaum aktivis gender dari UIN Yogya. Dalam aspek ibadah misalnya, dipersoalkan: mengapa azan harus dilakukan oleh laki-laki; mengapa wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki; mengapa dibedakan cara mengingatkan imam yang salah bagi makmum laki-laki dan makmum wanita; mengapa shaf wanita harus di belakang; mengapa imam dan khatib shalat Jumat harus laki-laki.

Masih dalam aspek ibadah, digugat juga persoalan pembedaan jumlah kambing aqidah bagi anak laki-laki dan wanita. Dalam masalah haji, digugat keharusan wanita ditemani oleh mahramnya, sedangkan laki-laki tidak. Juga, dipersoalkan pembedaan pakaian ihram bagi jamaah haji laki-laki dan wanita. Dalam urusan rumah tangga, digugat keharusan istri untuk meminta izin suami jika hendak keluar rumah. Dalam masalah pernikahan, misalnya, digugat juga ketiadaan hak talak bagi wanita. ”Talak seharusnya merupakan hak suami dan istri, artinya kalau memang suami berbuat salah (selingkuh), istri punya hak mentalak suami.” (hal. 175). Tak hanya itu, buku ini juga menggugat tugas seorang Ibu untuk menyusui dan mengasuh anak-anaknya. Ditulis dalam buku ini:
”Seorang Ibu hanya wajib melakukan hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Sedangkan hal-hal yang bersifat diluar qodrati itu dapat dilakukan oleh seorang Bapak. Seperti mengasuh, menyusui (dapat diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan minum dan menjaga keselamatan keluarga.” (hal. 42-43).

Beginilah cara berpikir kaum gender di lingkungan UIN Yogya. Kita bisa bertanya kepada kaum gender itu, jika menyusui anak bukan tugas wanita, lalu untuk apa Allah mengaruniai wanita dengan sepasang payudara? Bukankah sudah begitu banyak penelitian yang menyebutkan manfaat Air Susu Ibu (ASI) bagi si bayi, bagi si ibu, dan juga bagi hubungan psikologis antara bayi dan ibunya. Tapi, dengan alasan ’kesetaraan gender’, tugas menyusui bagi wanita itu ditolak dan dinyatakan sebagai kewajiban bersama antara bapak dan ibu.

Dengan pola pikir semacam itulah, kaum gender ini menolak syariat Islam dalam bidang pembagian peran antara laki-laki dan wanita. Memang, dalam konsep gender, pembagian peran mereka anggap bukan sesuatu yang kodrati atau hal yang fithri, tetapi mereka pandang sebagai hasil konstruk budaya. Karena itu, mereka menolak kedudukan kaum laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan imam shalat, hanya karena kelelakiannya. Di dalam buku berjudul Pengantar Kajian Gender terbitan PSW-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2003) dikutip sejumlah definisi gender:
”Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinctition) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender: An Introduction sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar (1999), gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men).” (hal. 54).

Para pegiat gender ini biasanya menggugat apa yang mereka sebut sebagai budaya patriarki dalam masyarakat, sebagaimana ditulis dalam buku terbitan PSW-UIN Jakarta: ”Di dalam budaya patriarki ini, bidang-bidang politik, ekonomi, pendidikan, hukum, agama, dan juga di ranah domestik senantiasa dikuasai laki-laki. Sebaliknya, pada waktu yang sama, perempuan terpinggirkan karena perempuan dianggap atau diputuskan tidak layak dan tidak mampu untuk bergelut di bidang-bidang tersebut.” (hal. 60).

Tidaklah berlebihan jika ada yang menelaah, bahwa paham kesetaraan gender sering menggunakan pola pendekatan Marxisme yang menempatkan laki-laki sebagai kaum penindas dan wanita sebagai kaum yang tertindas. Buku terbitan PSW-UIN Yogya secara tegas berusaha memprovokasi kaum wanita agar memiliki kebencian terhadap kaum laki-laki, sebagaimana tertulis pada sampul belakangnya:
”Sudah menjadi keprihatinan bersama bahwa kedudukan kaum perempuan dalam sejarah peradaban dunia, secara umum, dan peradaban Islam, secara khusus, telah dan sedang mengalami penindasan. Mereka tertindas oleh sebuah rezim laki-laki: sebuah rezim yang memproduksi pandangan dan praktik patriarkhisme dunia hingga saat ini. Rezim ini masih terus bertahan hingga kini lantaran ia seakan-akan didukung oleh ayat-ayat suci. Sebab itu, sebuah pembacaan yang mampu mendobrak kemapanan rezim laki-laki ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak saat ini untuk dilakukan.”

Benarkah ada rezim laki-laki yang kini menindas kaum wanita? Ungkapan itu sangatlah berlebihan. Itu adalah fantasi kaum gender yang terasuki perasaan kebencian. Jika ada sejumlah kasus, dimana laki-laki menindas wanita, itu dilakukan bukan karena kelelakiannya, tapi karena kebejatan akhlaknya. Tidak semua laki-laki menindas wanita. Bahkan, banyak kaum laki-laki yang sangat menghormati dan menyayangi wanita. Bahkan, banyak pula wanita yang menindas suaminya. Banyak pula suami yang takut pada istrinya. Banyak juga wanita yang juga kini menjalani hidup bahagia dalam sistem keagamaan yang mereka anut.

Kini, banyak wanita bahagia dapat menyusui anaknya selama dua tahun, karena yakin itu bagian dari ibadahnya kepada Allah. Banyak wanita yang ikhlas menjalankan kewajiban untuk meminta izin dari suaminya ketika keluar rumah. Toh, itu perbuatan yang baik dan menentramkan jiwa. Banyak wanita yang ridho menyediakan minuman bagi suaminya, menjaga dan mendidik anak-anaknya di rumah. Banyak wanita yang ridho dan tidak merasa terzalimi karena shalat di belakang kaum laki-laki. Banyak wanita yang ikhlas tidak diwajibkan shalat Jumat.

Kini, atas nama paham kesetaraan gender, semua konsep itu hendak dibongkar. Wanita muslimah diprovokasi, bahwa wanita tidak harus menyusui anaknya, sebab itu bukan hal yang kodrati. Wanita diminta menuntut hak talak, menuntut persamaan status dalam rumah tangga, dengan menolak kepemimpinan suami. Wanita diajak untuk memberontak kepada laki-laki. Atas nama gender, wanita menolak kewajibannya untuk mengurus rumah tangga. Sebab, laki-laki juga punya kewajiban yang sama.

Selama 1400 tahun lebih, umat Islam memahami, bahwa kaum laki-laki memang diberi amanah oleh Allah untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Suami yang baik tentu akan menjalankan amanahnya dengan baik, sebab mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di Hari Kiamat. Semakin banyak amanah yang diemban, semakin berat pula tanggung jawabnya di akhirat. Perspektif akhirat inilah yang sering dilupakan oleh kaum gender.

Pada akhirnya, kita melihat, paham kesetaraan gender yang kini disebarkan secara masif oleh agen-agen feminis di lingkungan Perguruan Tinggi Islam tampak lebih merupakan bentuk ’cultural schock’ (gegar budaya) orang-orang kampung yang silau dengan peradaban Barat modern. Mereka tidak berpikir panjang akan akibatnya bagi keluarga dan masyarakat Muslim. Pada buku-buku mereka, terlihat jelas, mereka begitu rakus menelan konsep-konsep pemikir Barat tanpa sikap kritis. Lebih ironis, jika paham ini disebarkan hanya untuk menjalankan proyek-proyek Barat untuk merusak masyarakat Muslim, melalui kaum wanitanya.

Oleh : Adian Husaini

Posting Komentar

0 Komentar