Telusuri

Rihlah : Tadabbur Alam Menuju Ketauhidan

Foto : Penulis di Gunung Merapi

Oleh : Subliyanto
Segala puji bagi Allah "Rabbul 'Alamin", yang dengan kekuasaannya telah menciptakan bumi pada hari sabtu, menciptakan gunung pada hari ahad, menciptakan pohon pada hari senin, menciptakan hal-hal yang tidak disenangi pada hari selasa, menciptakan cahaya pada hari rabu, menyebarkan binatang pada hari kamis, dan menciptakan Adam alaihissalam setelah ashar pada hari Jum'at. "Lailaha illallah wahdah, la syarikalah, lahul mulk, wa lahul hamdu, wahuwa 'ala kulli syaiin qadir".

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallahu 'alaihi wasallam, "Allahumma shalli wa sallim 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa shahbih", yang telah menyinari kegelapan dengan cahaya iman dan islam, dan telah memberi penjelasan tentang penciptaan alam, melalui sabdanya :

"Dari Abu Hurairah, ia telah berkata: Rasulullah SAW. memegang tanganku kemudian berkata : "Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi telah menciptakan tanah (bumi) pada hari sabtu, menciptakan padanya gunung-gunung hari ahad, menciptakan pohon pada hari senin, menciptakan hal-hal yang tidak disenangi pada hari selasa, menciptakan cahaya pada hari rabu, dan menyebarkan binatang padanya hari kamis, dan menciptakan Adam 'Alaihissalam setelah ashar pada hari Jum'at pada akhir penciptaan pada akhir waktu dari waktu-waktu Jum'at antara ashar hingga malam". (HR. Muslim). 

Semoga kita senantiasa mendapatkan syafaatnya baik di dunia dan terlebih di akhirat kelak. Amin

Diantara yang termasuk hal penting bagi seorang muslim adalah "tadabbur alam". Yaitu dirosah dengan melihat dan menikmati keindahan alam yang telah Allah SWT. ciptakan. Melihat dalam hal ini bermakna Iqra' secara dhahir ayat-ayat kauniyah sang Khaliq. Sementara menikmati dalam hal ini bermakna Iqra' secara bhatin (bersyukur). 

Kedua konsep Iqra' tersebut menjadi "pupuk" keimanan yang akan mengantarkan kita pada esensi hidup dan kehidupan yang sesungguhnya, yaitu menuju "tauhid" atau keesaan Allah. Sehingga dengan dirosah tersebut setiap kita melihat kekuasaan ciptaan-Nya, senantiasa bertasbih dan berdo'a kepada-Nya. "Subhana ma khlaqta hadza baatilan, subhanaka faqina 'adzabannar".

Secara tersurat maupun secara tersirat "tadabbur alam" hakikatnya juga sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW. yang kemudian juga menjadi "syariat 'ubudiyah" bagi ummatnya, yaitu sebagaimana tertuang dalam rangkaian ibadah haji berupa rangkaian ibadah ketika di bukit Shofa dan bukit Marwah. Dan secara tersirat, hal ini mengajarkan pada kita akan urgensitas "Iqra'" baik secara dhahir maupun secara bathin akan kekuasaan dan keesaan Allah. Betapa tidak, sejenak kita selami secara mendalam dan kita renungkan bacaan ketika di bukit Shofa dan bukit Marwah : 

"Lailaha illahu wahdahu la syarikalah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa huwa 'ala kulli syaiin qadir. La ilaha illallahu wahdah, anjaza wa'dah, wa nashara 'abdah, wa hazamal ahzaba wahdah".

Kalimat di atas dengan sangat jelas menunjukkan akan urgensitas tauhid. Dan aktivitas dhahiriyah pun menunjukkan akan urgensitas tarbiyah jasadiyah sebagai bentuk Iqra' ayat-ayat kauniyah ciptaan sang Khaliq. Dan hal tersebut merupakan tarbiyah jasadiyah dan bathiniyah yang semuanya tercover dalam bingkai 'ubudiyah. Dengan demikian lazim bagi kita sebagai ummat Muhammad SAW. untuk senantiasa beriqra', baik melalui ayat-ayat qauliyah maupun ayat-ayat kauniyah dimanapun berada guna menguatkan keimanan kita kepada Allah SWT.

Mengutip qalam Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitabnya "az-Ziyarah an-Nabawiyah Bainal Bid'iyyati was Syar'iyyati", pada bab "az-Ziyarah an-Nabawiyah wat Tauhid wal Khalis", halaman 42 (Versi Arab), beliau menulis bahwa "Ziyarah an Nabawiyah secara hakiki adalah bentuk ketauhidan yang sesungguhnya". Sehingga pada tulisan ini, penulis mengambil asas akan urgensitas "edukasi rihlah jasadiyah menuju tauhidiyah" kaitannya dengan ayat-ayat kauniyah, melalui  contoh ibadah haji. Karena hal tersebut merupakan kegiatan 'ubudiyah dan jasadiyah, serta otomatis bersifat tarbiyah.

Selanjutnya, sebagai "imtisal", kalau kita berwisata ke gunung bromo disitu kita akan melihat kekuasaan sang Khaliq atas ciptaan-Nya. Untuk mencapai puncaknya kita harus menaiki deretan tangga yang sudah tersedia, itupun hanya untuk sekedar mengetahui kawah di dalamnya. Sungguh luar biasa dan Maha Kuasa Allah menciptakannya. Sehingga kita wajib mensyukurinya melalui semakin memperkuat "ta'abbud" kepada-Nya. 

Sejenak bisa kita bayangkan disertai do'a bagaimana seandainya jika gunung tersebut meletus dan melanda wilayah di sekitarnya. Masih lupakah kita akan kekuasaan-Nya ?, akan nikmat-Nya ? dan tugas kita sebagai hamba-Nya ?. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tadabbur alam akan ayat-ayat kauniyah-Nya akan senantiasa menguatkan keimanan kita, dan akan mengantarkan kita pada keesaan-Nya. Dan tentu untuk mencapai derajat dan maqam tersebut kita harus senantiasa untuk "ikhlasun niah lillah wa ma ya ta'allaqu bih".

Imtisal selanjutnya, bolehlah kita sedikit bergeser ke gunung panjakan yang letaknya juga tidak jauh dari gunung bromo, dan ketinggiannya lebih tinggi dari bromo. Dimana untuk menuju kesana kita harus menyiapkan perlengkapan yang ekstra, baik dhahir maupun bathin. Disana kita akan merasakan hawa yang sangat dingin. Sehingga salah satu bekal yang harus dipersiapkan adalah kondisi tubuh kita yang betul-betul sehat dan jaket tebal sebagai Ikhtiyar dhahir sebagai pelindung tubuh kita. Dan hal serupa kendatipun tidak sama dengan gunung panjakan adalah lereng wilis. Dimana kalau kita berkunjung ke wilayah itu tiada hari tanpa hujan dan kabut. Namun Allah Maha adil, penduduknya dikaruniai mata pencaharian melalui peternakan sapi perah. Sungguh luar biasa akan nikmat-Nya. Demikian juga dengan tempat-tempat rihlah lainnya seperti gunung merapi, beserta sungai kaliboyongnya, bukit kukusan, beserta pantai delegannya, dan tempat-tempat rihlah lainnya. 

Tentunya tidak hanya terbatas pada gunung-gunung sebagai media Iqra' ayat-ayat kauniyah sang Khaliq, guna mengasah dan memperkuat keimanan kita melalui tarbiyah jasadiyah yang bersifat eksperimental. Bahkan semua ciptaan-Nya bisa kita petik hikmah. Karena konsep Rabbaniyahnya jelas, "Ma khalaqta hadza bhatila, subhanaka faqina'adzabannar". "Maka nikmat manakah dari Tuhanmu yang engkau dustakan ?"

Semua imtisal di atas merupakan sebuah contoh berdasarkan eksperimen penulis. Disini penulis mengambil contoh pegunungan, karena secara teoritis ilmu alampun, kalau dikaitkan dengan sinyal eletronik, ketinggian suatu benda menjadi koordinat sebagai barometer akan sejauh mana kekuatan sinyal membaca dan terbaca. Yang artinya adalah jika semua itu kita integrasikan dengan konsep Rabbaniyah-Ilahiyah sangat-sangat relevan, dan memang sudah seharusnya kita lakukan mengingat muara semua ilmu adalah pada Dzat yang Maha 'Alim, Allah Rabbul 'alamin.

Dengan demikian ketauhidan kita kepada sang Khaliq terus terasah dan terjaga. Dan sudah menjadi ma'ruf bahwa semua itu harus berjalan seimbang dengan Ikhtiyar dhahir dan bathin kita, melalui pedoman-pedoman teoritis yang sudah diajarkan oleh para pendahulu kita, "Minan nabiyyin, was shiddiqin, was syuhada', was shalihin".

Semoga catatan hikmah ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca semuanya. Tulisan ini bukanlah tulisan yang sempurna. Maka tidak tertutup pintu telaah oleh para pembaca sebagai korektor. Terlebih oleh para guru penulis. Hal itu merupakan bagian dari "tawa shawbil haq wa tawa bis shabr", sebagaimana termaktub dalam firman-Nya surat al-'Ashr. Kesempurnaan hanyalah milik Allah. Dan hanya kepada-Nya lah kita memohon Rahmat, taufiq, serta hidayah. Wallahu a'lam bis shawab []

Posting Komentar

0 Komentar